Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Erik Ten Hag dan Repetisi Sebuah Pola

13 Agustus 2024   17:10 Diperbarui: 13 Agustus 2024   17:10 40 1
Dalam sebuah tim, pelatih baru kadang membawa serta pemain dari klub lamanya, sebagai bagian penting dari rencana taktik. Selain karena faktor kualitas, kedekatan dengan sang pelatih dan sistemnya biasa menjadi faktor kunci.

Sebagai contoh, pada dekade lalu, tepatnya saat melatih Bayern Munich dan Everton, Carlo Ancelotti pernah membawa serta James Rodriguez (Kolombia) yang pernah dilatihnya di Real Madrid. Ada juga Thiago Alcantara (Spanyol) yang dibawa Pep Guardiola ke Bayern Munich, dengan keduanya sempat bekerja sama di Barcelona.

Tapi, tak banyak pelatih yang memboyong sejumlah eks anak asuhnya di tim lama dalam jumlah cukup banyak, seperti yang dilakukan Erik Ten Hag di Manchester United.

Meski pada prosesnya dilakukan secara bertahap, di tiga bursa transfer musim panas beruntun, pelatih asal Belanda ini selalu mendatangkan eks anak asuhnya di Ajax Amsterdam.

Pada musim panas 2022, Antony (Brasil, winger) dan Lisandro Martinez (Argentina, bek) didatangkan langsung dari Ajax Amsterdam, segera setelah sang pelatih mendarat di Old Trafford.

Pada musim panas 2023, giliran Andre Onana (kiper) yang diboyong dari Inter Milan. Sebelumnya, kiper asal Kamerun ini merupakan kiper andalan Ten Hag di Ajax.

Daftar nama eks anak didik pelatih berkepala plontos ini hampir saja bertambah, andai Ryan Gravenberch tidak menolak kesempatan bergabung (lagi) dengan sang pelatih. Pemain Timnas Belanda itu bahkan diketahui menolak sampai 2 kali, yakni saat memutuskan bergabung dengan Bayern Munich (2022) dan Liverpool (2023).

Di musim panas 2024, Erik Ten Hag mendatangkan (lagi) dua eks anak asuhnya di Ajax, yakni Noussair Mazraoui (Maroko) dan Matthijs de Ligt (Belanda). Keduanya sama-sama diboyong dari Bayern Munich dan berposisi sebagai bek.

Dengan hengkangnya Donny Van De Beek (yang juga eks pemain Ajax) ke Girona (Spanyol), Setan Merah kini punya 5 pemain eks didikan Ten Hag di Ajax. Fenomena ini mungkin terlihat aneh, karena Arne Slot (yang juga orang Belanda) tidak (atau mungkin belum) memboyong satupun eks pemain asuhannya dari Feyenoord ke Liverpool.

Kalau melihat bagaimana ide taktik ETH, terdapat satu gambaran simpel. Ia ingin coba mereplikasi cerita sukses di Ajax, ketika tim raksasa Belanda itu mampu mendominasi Eredivisie dan lolos ke semifinal Liga Champions musim 2018-2019.

Kebetulan, kelima eks pemain Ajax yang datang ke Manchester United adalah bagian dari tim itu, dengan Matthijs de Ligt sebagai kapten.

Aroma Ajax sendiri juga terasa di area teknik, dengan kedatangan Jelle ten Rouwelaar (pelatih kiper) yang diboyong ke Teater Impian pada musim panas 2024. Setahun sebelumnya, sudah ada Pieter Morel (analis pertandingan) yang juga diboyong dari Ajax.

Saat didatangkan dari Johan Cruyff Arena pada tahun 2022 silam, Erik Ten Hag juga membawa serta Mitchell van der Gaag (asisten pelatih). Tapi, manajemen MU mendepak sang asisten, setelah mencetuskan rencana perombakan tim pelatih pada musim panas 2024.

Seperti diketahui, musim 2023-2024 berjalan seperti mimpi buruk buat klub kesayangan Manchunian. Meski juara Piala FA, perombakan tetap dianggap perlu, sehingga Rene Hake dan Ruud Van Nistelrooy (Belanda) pun didatangkan sebagai asisten pelatih baru.

Dengan datangnya Mazraoui dan de Ligt, ide meng-Ajax-kan Setan Merah jelas menjadi cetak biru proyek Ten Hag di Manchester. Terbukti, Andre Onana yang tampil inkonsisten dan Antony yang melempem tetap dipercaya sebagai starter.

Secara kasat mata, ini adalah satu strategi klasik yang cukup "aman", dan pernah dilakukan eks pelatih Ajax lain di masa lalu.

Pada era 1970-an. Rinus Michels pernah melakukannya, dengan membawa serta Johan Cruyff dan Johan Neeskens ke Barcelona. Duo Johan ini merupakan pemain kunci Ajax saat mencatat hat-trick juara Liga Champions awal tahun 1970-an. Hasilnya, Barca meraih masing-masing satu gelar La Liga dan Copa Del Rey.

Di era Johan Cruyff, langkah serupa juga dilakukan pada tahun 1988. Tepatnya saat sang master Total Football membawa serta Danny Muller dan Jordi Cruyff dari akademi Ajax ke Barcelona. Dari keduanya, hanya Jordi Cruyff yang sempat mencicipi kesempatan main di tim utama.

Richard Witschge menjadi satu lagi eks anak didik Cruyff di Ajax yang datang ke Barcelona pada tahun 1991. Meski hanya 2 tahun di Camp Nou, torehan sepasang trofi La Liga dan satu gelar Liga Champions menjadikan kiprah singkatnya terbilang sukses.

Selebihnya, "The Dream Team" Cruyff yang meraih aneka prestasi, termasuk juara Liga Champions pertama klub tahun 1992 cenderung kosmopolitan, karena memadukan talenta lokal macam Pep Guardiola dan bintang top dunia macam Romario (Brasil) dan Michael Laudrup (Denmark).

Tapi, di era Cruyff juga, pemain Belanda yang bukan dari Ajax mulai datang ke Barcelona, dengan Ronald Koeman (eks PSV Eindhoven) sebagai yang pertama, meskipun Koeman sendiri pernah juga dilatih Cruyff di Ajax, pada musim 1985-1986.

Disinilah "Belandanisasi" mulai menjadi kebiasaan yang dibawa pelatih Belanda di liga top Eropa. Meski tidak selalu besar-besaran, selalu saja ada eks pemain atau staf pelatih yang ikut dibawa serta. Kalau tidak ada, minimal ada staf pelatih yang ikut serta.

Pola ini antara lain terlihat pada Arne Slot, yang membawa serta Sipke Hulshoff (asisten pelatih) dan Ruben Peeters (pelatih fisik) dari Feyenoord Rotterdam. Ada juga John Heitinga (asisten pelatih, eks pemain dan pelatih Ajax Amsterdam) yang didatangkan karena punya pengalaman bermain dan menjadi asisten pelatih West Ham di Liga Inggris.

Langkah Michels yang dimodifikasi Cruyff di Barcelona lalu diikuti Louis Van Gaal di akhir era 1990-an, yang antara lain membawa serta De Boer bersaudara, Patrick Kluivert, Michael Reiziger, Winston Bogarde dan Marc Overmars.

Van Gaal yang membawa Ajax Amsterdam juara Liga Champions 1994-1995 mencoba mereplikasi cerita sukses itu, dengan memboyong sejumlah personel tim "Class of 95" ke Catalan, dengan ditambah eks  pemain PSV Eindhoven, seperti Phillip Cocu dan Boudeweijn Zenden.

Hasilnya, Barca mampu meraih gelar juara Copa Del Rey dan sepasang trofi La Liga. Dengan pola yang sama, tidak aneh juga kalau Ronald Koeman ( membawa Blaugrana juara Copa Del Rey tahun 2021, dengan tim yang kala itu antara lain diperkuat Memphis Depay (penyerang  Timnas Belanda di Euro 2024).

Dengan panjangnya hubungan antara Barcelona dan Ajax Amsterdam (juga sepak bola Belanda secara umum) wajar jika "akar" itu ada. Masalahnya, di Manchester United, situasinya tidak seperti itu.

Tidak seperti di Barcelona, jejak pelatih Belanda di Manchester United terbilang masih "baru". Sebelum Erik Ten Hag datang, hanya Louis Van Gaal (2014-2016) Nederlander yang pernah melatih di Old Trafford.

Seperti Ten Hag, pola "membawa serta eks anak didik" juga sempat dilakukan Si Tulip Besi, dengan antara lain memboyong Memphis Depay dan Daley Blind (eks anak asuhnya di Timnas Belanda), Sergio Romero (eks kiper saat mengasuh AZ Alkmaar), Bastian Schweinsteiger (eks pemain kuncinya di Bayern Munich) dan Victor Valdes (kiper yang diberinya kesempatan debut di Barcelona).

Tak cukup sampai disitu, Van Gaal juga membawa serta staf kepelatihannya di Timnas Belanda ke Manchester. Mereka adalah Frans Hoek (pelatih kiper), Marcel  Bout (analis) dan Albert Stuivenberg (asisten pelatih).

Hasilnya, meski berhasil meraih Piala FA, performa inkonsisten tim di Liga Inggris membuat sang pelatih didepak. Sebuah nasib apes yang (sejauh ini) belum dialami Erik Ten Hag, berkat kesuksesan meraih trofi piala domestik selama dua tahun masa tugasnya.

Diluar urusan komposisi pemain dan staf pelatih, Ten Hag juga meniru pendekatan Van Gaal dalam mengorbitkan pemain muda. Van Gaal mampu mengorbitkan Marcus Rashford, sementara Ten Hag sudah mengorbitkan Alejandro Garnacho dan Kobie Mainoo.

Dengan hadirnya INEOS di manajemen klub, dan perpanjangan kontrak yang diterimanya, eks pelatih Go Ahead Eagles ini punya kesempatan lain untuk meraih prestasi lebih jauh. Tapi, dengan previlese merombak tim dan belanja pemain yang dimilikinya, tekanan yang ada akan semakin berat.

Kalau ide meng-Ajax-kan The Red Devils kembali gagal menghadirkan performa konsisten di musim 2024-2025, mungkin Ten Hag tak akan punya kesempatan ketiga di Manchester, karena levelnya memang sudah mentok.

Tapi, kalau versi KW Ajax Amsterdam sukses di United, sepertinya inilah solusi dan oasis di tengah turbulensi pasca-Ferguson.

Mungkinkah?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun