Prospek meraih medali lebih banyak juga terlihat suram, karena setelah panahan, atletik dan bulutangkis tutup buku, kontingen Indonesia tinggal berlaga di cabang olahraga panjat tebing, angkat besi, dan balap sepeda, yang masing-masing diwakili oleh Veddriq Leonardo (panjat tebing), Bernard van Aert (balap sepeda), dan Rizki Juniansyah (angkat besi).
Dari performa secara umum, terlepas dari aneka gangguan teknis maupun nonteknis selama Olimpiade, kita sudah sedikit melihat bersama, separah apa kebobrokan tata kelola di olahraga nasional secara umum, terutama dalam beberapa tahun terakhir.
Tentu saja, ada banyak pro dan kontra dan pembahasan soal ini, lengkap dengan argumentasi masing-masing. Tapi, Olimpiade menjadi satu panggung pertunjukan sempurna, soal separah apa mentalitas toksik oknum pejabat dan politisi di negeri ini.
Seperti diketahui, jika ada atlet Indonesia meraih medali emas, apalagi di ajang pesta olahraga sekelas Olimpiade, ada begitu banyak oknum pejabat dan politisi yang tanpa malu-malu "pansos" di sana.
Entah di media sosial atau baliho jalanan, para oknum ini berlomba-lomba menampilkan foto wajah sebesar mungkin, biasanya sampai jauh lebih besar dari sang atlet berprestasi. Tak ada sedikitpun rasa malu, karena mereka memang mendompleng euforia dan banjir pujian dari masyarakat.
Tapi, ketika tak ada medali emas, para petinggi ini berlagak seperti tak terjadi apa-apa, bahkan Agung Firman Sampurna, Ketua PBSI, tanpa malu-malu menyebut para pemain "tidak siap mental" menghadapi Olimpiade Paris.
Konyolnya lagi, sang Ketua PBSI hanya mengucapkan "Terima kasih" dan "mohon maaf", atas catatan nyaris nihil medali, di sebuah cabor yang cukup rutin menyumbang medali buat Indonesia di Olimpiade.
Andai Indonesia tidak mendapat "bye" dan Carolina Marin tidak cedera, mungkin ceritanya bisa berbeda. Belum tentu medali perunggu didapat, dan jika itu terjadi, para pemain akan semakin jadi sasaran tembak PBSI untuk disalahkan.
Mentalitas seperti ini, ditambah dukungan yang terkesan serba seadanya di tahap persiapan maupun kualifikasi menuju Olimpiade, telah menciptakan satu kesan "kacau", karena event level dunia seperti Olimpiade malah terkesan kurang diprioritaskan, bahkan jika dibanding SEA Games atau Asian Games, terutama jika Indonesia jadi tuan rumah.
Di saat negara-negara lain bisa mengirim sampai ratusan atlet ke Olimpiade, Indonesia hanya bisa mengirim 29 atlet ke Prancis. Sebuah pembuktian sempurna, yang membuktikan, jumlah atlet di suatu negara tidak sepenuhnya berbanding lurus dengan populasi negara itu.
Apakah Indonesia perlu mendaftar jadi tuan rumah Olimpiade dulu, supaya bisa mengirim banyak atlet dan mendapat lebih banyak medali?
Kalau iya,patut diduga, jangan-jangan mentalitas "jago kandang" nya memang sudah sebegitu parah. Seekor burung garuda yang biasa terbang gagah saat bertanding di negeri sendiri, ternyata hanya seekor burung emprit saat bersaing di tingkat dunia, sebagai tamu di negeri orang.
Di sisi lain, kegagalan kontingen Indonesia berbicara banyak di Paris justru menunjukkan, kegagalan adalah satu momen paling "jujur" karena bisa memperlihatkan semua masalah di baliknya secara frontal, termasuk masalah mental di segala level, tanpa ada yang ditutupi.
Selebihnya, tinggal bagaimana kegagalan itu direspon. Kalau responnya sebatas merasa "baik-baik saja" jangan kaget kalau setiap Olimpiade datang, kontingen Indonesia konsisten "tipis" dan targetnya turun kelas: dari "membawa pulang medali emas" menjadi "asal dapat medali".
Pahit, tapi begitulah cara mentalitas toksik bekerja dan membuahkan hasil.