Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Pilihan

Ada Harga, Ada Kualitas. Sudahkah?

24 Juli 2024   16:27 Diperbarui: 25 Juli 2024   17:40 132 9
Tingginya harga tiket penerbangan domestik di Indonesia menjadi sebuah fenomena serba kontradiktif. Di satu sisi, ini adalah cara pihak maskapai mengakali kenaikan tarif PPN, asuransi, dan beban operasional (termasuk sewa pesawat dan bahan bakar) sambil memulihkan kondisi keuangan yang ambyar akibat pandemi.

Di sisi lain, kenaikan drastis harga tiket pesawat domestik justru menjadi satu alasan kuat masyarakat (setidaknya sebagian) untuk tidak menggunakan moda transportasi penerbangan domestik, kecuali punya uang lebih atau keadaan darurat.

Kontradiksi ini lalu menghasilkan kontradiksi lain, karena memicu naiknya angka kunjungan wisatawan Indonesia ke luar negeri, khususnya di negara kawasan ASEAN. Kebetulan, Indonesia punya perjanjian bebas visa dengan negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina, jadi tidak terlalu memberatkan.

Disebut kontradiksi, karena pemerintah, antara lain melalui Kemenparekraf, getol mengajak masyarakat untuk berwisata di dalam negeri saja. Satu himbauan untuk menggarap potensi pariwisata dalam negeri, yang malah dijegal harga mahal tiket penerbangan di negeri sendiri.

Ironi yang ada semakin sempurna, karena harga tiket penerbangan ke Singapura, Kuala Lumpur dan Bangkok ternyata ada yang jauh lebih murah dari penerbangan domestik.

Akibatnya, untuk rute perjalanan domestik, banyak konsumen yang beralih ke moda transportasi alternatif, seperti kapal, bus atau kereta api, yang secara harga masih lebih masuk akal.

Dalam kasus tertentu, seperti di Aceh dan Medan, warga yang hendak pergi ke Jakarta (atau sebaliknya) cenderung memilih penerbangan transit via Kuala Lumpur (Malaysia) ketimbang langsung, karena harga tiketnya (ternyata) lebih murah.

Memang, pepatah mengatakan, "ada harga, ada kualitas". Pada kasus moda transportasi udara, kualitas mendasar ini antara lain sudah ada pada waktu tempuh  jauh lebih cepat, yang memang jadi satu keunggulan utama.

Pertanyaannya, sudahkah kualitasnya sesuai harga?

Jujur saja, belum!

Dalam konteks penerbangan domestik di Indonesia, masih ada saja kasus "delay", perubahan jadwal, atau pembatalan secara mendadak. Kekurangan ini bahkan sudah "diakui" secara internasional. Pada tahun 2023, platform layanan perjalanan, Bounce, menempatkan Wings Air dan Lion Air sebagai dua diantara 10 maskapai penerbangan terburuk di dunia.

Dari sekian banyak faktor, tingkat ketepatan waktu rendah (dibawah 50%) dan tingkat pembatalan tinggi (diatas 15%) menjadi faktor utama. Dengan harga tiket yang cenderung mahal, mendapat predikat seperti ini jelas memalukan.

Apalagi, dengan bentang wilayah begitu luas, transportasi udara bisa menjadi kunci mobilitas jarak jauh, karena mampu memperpendek waktu tempuh secara signifikan. Jadi, tidak mengejutkan kalau Kemenparekraf lalu membentuk Satgas khusus, demi memperbaiki masalah yang ada.

Soal harga tiket pesawat domestik yang terbang tinggi, sudah pasti ada banyak pro-kontra dan argumen yang saling berhadapan. Tapi, masalah ini justru secara gamblang menunjukkan, kenapa Indonesia (dengan potensi sebegitu besar) kurang menarik bagi wisatawan atau investor asing, dibanding negara tetangga.

Terlalu banyak keruwetan, karena mentalitas "kalau ada yang sulit, kenapa harus mudah?" masih saja membudaya.

Mau sampai kapan?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun