Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Timnas Inggris, Potret Suram Sebuah Kesombongan

16 Juli 2024   22:44 Diperbarui: 16 Juli 2024   23:14 57 6
"Its coming home"

Itulah kalimat yang biasa muncul, setiap kali Piala Dunia atau Piala Eropa datang. Sebentuk optimisme khas suporter Timnas Inggris, dengan merujuk fakta sejarah soal status Inggris sebagai negara asal sepak bola modern.

Diluar urusan sejarah, optimisme ini juga datang dari popularitas Liga Inggris, yang sejak dua dekade terakhir terus menanjak. Dengan liga sehebat itu, ditambah sistem pembinaan pemain yang sudah lama eksis, optimisme yang ada jelas bukan omong kosong.

Masalahnya, ekspektasi yang ada kadang berlebihan. Kadang, itu sampai dibungkus rapi dalam sebuah prediksi atau perspektif bias media.

Saking berlebihannya, perilaku toksik ini menghasilkan perilaku toksik lainnya, antara lain sikap tidak respek pada tim lawan. Alhasil optimisme yang ada berubah jadi tekanan begitu berat untuk menang.

Maka, tidak mengejutkan kalau Tim Tiga Singa cenderung lebih suka bermain aman. Berapapun skornya, apapun caranya, yang penting menang, minimal tidak kalah. Sekali kalah, siap-siap dibanjiri kritik dari semua arah.

Fenomena ini menjadi satu ciri khas mereka, bahkan saat punya tim yang cukup solid di bawah arahan Gareth Southgate. Seperti diketahui, dibawah komando eks pemain Timnas Inggris ini, tim yang inkonsisten di turnamen mayor bisa melangkah jauh.

Semifinal Piala Dunia 2018, ditambah final Piala Eropa 2020 dan 2024 menjadi capaian  terbaik di dua turnamen (atau lebih) dalam waktu berdekatan sejak juara Piala Dunia 1966 dan semifinalis Piala Eropa 1968, plus semifinalis Piala Dunia 1990 dan Piala Eropa 1996.

Soal materi pemain, tim generasi terkini juga punya bintang yang tidak hanya moncer di Kualifikasi, tapi juga putaran final. Capaian Harry Kane sebagai top skor Piala Dunia 2018 (6 gol) dan Piala Eropa 2024 (3 gol, top skor bersama) menjadi satu senjata ampuh Inggris era kekinian.

Sebelumnya, Inggris memang pernah punya penyerang jempolan seperti Michael Owen dan Wayne Rooney. Nama kedua bahkan sempat menjadi top skor sepanjang masa tim nasional. Masalahnya, sangat sedikit pemain yang benar-benar bisa bersinar di putaran final Piala Eropa dan Piala Dunia.

Karir Owen cepat redup karena masalah cedera, sementara Rooney lebih banyak bersinar di babak kualifikasi dan laga uji coba. Padahal, keduanya sama-sama disambut "hype" tinggi media saat pertama kali muncul.

Setelah era Sir Bobby Charlton dan Sir Geoff Hurst (1966), praktis Inggris hanya punya Gary Lineker (top skor Piala Dunia 1986 dan penyerang utama di Piala Dunia 1990), Paul Gascoigne (motor serangan tim di Piala Dunia 1990 dan Piala Eropa 1996), dan Alan Shearer (top skor Piala Eropa 1996) yang benar-benar bisa moncer di turnamen mayor. Pada era merekalah, prestasi Inggris di masa lalu datang.

Selebihnya, tidak ada yang benar-benar istimewa, setidaknya sampai Kane mencuat. Ketika penyerang yang juga kapten Timnas Inggris ini bersinar dan konsisten, barulah Inggris bisa bersaing di level atas.

Tapi, kemajuan prestasi di era Southgate, justru membawa serta satu situasi serba salah. Kalah dicaci suporter sendiri, sementara menang dapat hadiah sumpah serapah suporter lawan.

Sepintas ini wajar, tapi kesombongan yang muncul di kalangan suporter dan media Inggris, termasuk jargon "its coming home" biasa jadi bumerang.

Makin jauh mereka melangkah, makin dalam rasa sakit yang akan berbalik memukul. Fenomena "horor" ini sudah terjadi di dua edisi Piala Eropa terakhir, dan meninggalkan rasa sakit luar biasa, karena The Three Lions selalu kalah di final.

Semua yang bisa disalahkan akan disebut dan dikulik habis, tapi mereka akan pura-pura amnesia saat prediksi (rasa ekspektasi) terbukti meleset.

Buktinya, Marc Cucurella yang sempat diprediksi Gary Neville akan jadi "beban" Timnas Spanyol malah jadi pemain kunci. Bek Chelsea ini bahkan membuat assist atas gol kemenangan Tim Matador atas Inggris, di final Piala Eropa 2024.

Akibat situasi toksik ini juga, Gareth Southgate lalu memutuskan mundur sebagai pelatih Timnas Inggris, Selasa (16/7). Padahal, FA sudah menjamin posisi sang pelatih aman, sekalipun kalah di final Piala Eropa 2024.

Memang, eks pemain Aston Villa ini jadi kambing hitam karena membuat tim bermain terlalu pragmatis. Tapi, standar prestasi tinggi yang telah ditinggalkannya akan membuat siapapun penggantinya pusing.

Bagaimana bisa prestasi tinggi langsung diraih dengan permainan atraktif, kalau tim yang ada kadung terbiasa bermain pragmatis? Bukannya memperbaiki masalah, yang ada malah menambah masalah.

Menariknya, situasi di Timnas Inggris ini bisa menjadi satu gambaran situasi buat sepak bola nasional, khususnya jika sistem pembinaan pemain muda dan kompetisi sudah oke.

Pada negara yang sistem pembinaan pemain muda dan kompetisinya sudah berkualitas, tingkah baik suporter dan media akan berdampak positif juga buat tim nasional. Kalau tingkahnya terlalu toksik, sebagus apapun sistem pembinaan dan pelatihnya, hasilnya akan tetap jeblok, karena dirusak situasi toksik.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun