Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

"Multiclub Ownership" ala FSG

12 Juli 2024   16:57 Diperbarui: 12 Juli 2024   17:02 90 4
Di era kekinian, khususnya sejak sedekade terakhir, "multiclub ownership" alias kepemilikan beberapa klub oleh satu pihak, telah berkembang menjadi satu tren. Selain untuk menjaring pemain berbakat, memperluas jejaring bisnis menjadi motif umum di sini.

Jadi, bukan kejutan kalau sebuah grup "multiclub ownership" punya beberapa klub dengan nama atau ciri khas mirip. Dua contoh paling terkenal adalah klub-klub milik Red Bull dan City Football Group.

Anggota kedua grup ini (setidaknya sebagian) punya nama atau corak logo yang mirip. Red Bull yang punya klub di Salzburg (Austria), Bragantino (Brasil), New York (Amerika Serikat) dan Leipzig (Jerman) sama-sama punya logo dan inisial RB khas Red Bull.

Sementara itu, City Football Group (khususnya pada klub-klub anggota generasi awal) punya nama khas "City" dengan logo berbentuk lingkaran dan seragam kandang warna biru langit.

Belakangan, CFG melebarkan sayap, dengan membeli saham mayoritas di sejumlah klub, tanpa mengubah identitas lama klub. Beberapa klub itu antara lain Troyes (Prancis), Lommel SK (Belgia), Palermo (Italia) dan Bahia (Brasil).

Model kepemilikan ala CFG dan Red Bull menjadi satu gambaran paling umum soal "multiclub ownership" yang membuatnya seperti sedang berusaha menjadi "pembuat sejarah" era kekinian.

Pada kasus CFG, mereka sudah mencatat prestasi historis, kala Manchester City meraih Treble Winner (termasuk gelar Liga Champions pertama klub) di musim 2022-2023.

Tapi, dari beberapa grup "multiclub ownership" yang muncul, Fenway Sports Group menjadi satu kasus unik. Tidak seperti grup pemilik klub lain, mereka cenderung lebih suka membeli klub yang memang sudah punya identitas kuat dan sejarah prestasi.

Modus operandinya pun cukup seragam, karena klub yang diincar adalah klub dengan kondisi keuangan sedang bermasalah.

Pada tahun 2010, perusahaan investasi olahraga asal Amerika Serikat ini membeli Liverpool dengan harga 300 juta pounds. Kala itu, The Kop terkena krisis keuangan dan terancam bangkrut.

Di bawah kepemilikan FSG, Si Merah yang terpuruk pelan-pelan bangkit dan meraih aneka prestasi, termasuk juara Liga Champions dan Liga Inggris.

Secara finansial, kondisi keuangan klub juga berangsur membaik. Di luar urusan prestasi dan finansial, The Reds juga mengalami pembaruan di sisi infrastruktur untuk tim pria dan wanita.

Pembangunan pusat latihan yang terintegrasi dengan akademi klub di Kirkby, perluasan plus renovasi Stadion Anfield, dan pembelian kembali (plus renovasi) kamp latihan Melwood menjadi "warisan" jangka panjang mereka untuk klub. Melwood sendiri kini menjadi kamp latihan tim wanita Liverpool.

Pada musim panas 2024, FSG mulai melebarkan sayap, dengan Bordeaux sebagai target berikutnya. Ini menjadi langkah awal mereka, untuk membangun jejaring di Eropa.

Kebetulan, Les Girondins juga sedang terlilit masalah finansial, dan terancam didegradasi ke kasta ketiga Liga Prancis, jika tak bisa mendapat investor dalam waktu dekat.

Bagi FSG, strategi kepemilikan beberapa klub menjadi sesuatu yang relevan, khususnya dalam hal belanja pemain muda. Maklum, berdasarkan aturan pasca-Brexit tahun 2021, klub tidak bisa mendatangkan langsung pemain berusia dibawah 18 tahun dari luar Britania Raya.

Jadi, membeli klub dari liga-liga Eropa daratan atau Amerika Selatan adalah satu opsi masuk akal. Tapi, perusahaan pemilik klub bisbol Boston Red Sox ini hanya mau mengakuisisi klub yang sudah punya catatan sejarah prestasi juara di masa lalu.

Dengan kata lain, FSG lebih suka merevitalisasi dan memperbarui yang sudah ada, ketimbang memulai dari nol.

Sebelumnya, mereka sempat mencoba membeli saham mayoritas di Cruzeiro, salah satu klub tersukses di Brasil, tepatnya pada tahun 2021.

Upaya ini gagal, setelah Ronaldo muncul dan membeli saham mayoritas Raposa. Belakangan, tepatnya bulan April 2024, sang legenda Timnas Brasil menjual klub tempatnya memulai karier bermain itu ke Pedro Lourenco, juragan ritel dan milyuner Brasil.

Kembali ke Bordeaux. Secara historis, klub yang bermain di Ligue 2 Prancis ini termasuk tim yang cukup sukses. Mereka meraih 6 gelar Ligue 1 (terakhir diraih tahun 2009) dengan turut mengorbitkan pemain legendaris macam Sylvain Wiltord dan Zinedine Zidane di era 1990-an.

Di era kekinian, akademi mereka juga mengorbitkan Jules Kounde (Barcelona) dan Aurelien Tchouameni (Real Madrid) yang sama-sama menjadi pilar Timnas Prancis.

Jadi, ini memang bukan tim divisi dua biasa. Kalau bisa didapat dan tuntas dibenahi, klub ini bisa kembali ke kasta tertinggi dalam waktu tak terlalu lama.

Boleh dibilang upaya FSG membeli Bordeaux adalah satu cara mereplikasi cerita sukses di Liverpool. Tidak perlu ngotot berusaha mencetak sejarah baru, tapi berproses menjadi tim yang bisa memperbarui sejarah mereka.

Mungkin proses dan hasilnya tidak seinstan Nasser Al Khelaifi di PSG, tapi ada keberlanjutan yang coba dibangun dan diwariskan, supaya kondisi keuangan klub tetap sehat dan tetap kompetitif.

Keberlanjutan sendiri menjadi satu isu panas, yang mulai ditindak lanjut dengan sanksi tegas di liga-liga top Eropa. Di Italia, Juventus sempat dilarang tampil di kompetisi antarklub Eropa musim 2023-2024, akibat kasus pemalsuan laporan keuangan.

Di Liga Inggris, ini sudah membuat klub macam Everton dan Nottingham Forest kena pengurangan poin. Pada level lebih gawat, Manchester City bersiap menghadapi sidang pelanggaran terkait 115 pelanggaran aturan Financial Fair Play, yang bisa membuat mereka terdegradasi.

Dengan demikian, jika gaya kepemilikan klub ala FSG ini berlanjut, mereka akan jadi antitesis dari gaya kepemilikan "multiclub ownership" yang sudah eksis.

Bos besar mereka tidak menyeragamkan identitas klub, atau turun langsung mengelola klub (seperti pada kasus bos INEOS, Sir Jim Ratcliffe di OGC Nice dan Manchester United).

Hanya sebuah tim manajemen yang bertugas, dengan fokus pada keberlanjutan, tanpa mengotak-atik identitas klub. Memang, ini membuat John W. Henry dkk terkesan "pelit" dan kurang disukai sebagian Kopites.

Tapi, apa yang sudah mereka bangun sejauh ini sudah membuktikan, sebuah proses yang ditekuni secara sehat pada akhirnya tidak hanya menghasilkan prestasi di lapangan, tapi juga kondisi keuangan tim yang sehat.

Pada gilirannya, proses yang sehat ini menghasilkan warisan jangka panjang yang berkelanjutan, dan visi lebih besar, sehingga menularkan satu pendekatan berproses secara positif, di tengah banyaknya investasi jor-joran di klub-klub sepak bola era kekinian.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun