Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Pilihan

Habis "Mendadak Atlet", Terbitlah "Joki Strava"

9 Juli 2024   14:02 Diperbarui: 9 Juli 2024   14:08 32 5
Dalam beberapa waktu terakhir, "mendadak atlet" telah menjadi sebuah fenomena gaya hidup, yang membuat banyak orang, terutama dari kelompok usia 30-an tahun atau lebih, seperti berlomba-lomba menampilkan kegiatan berolahraga di media sosial masing-masing.

Dari angkat beban, marathon, jogging sampai naik gunung, semua ada. Sepintas, ini terlihat positif, setidaknya sampai fenomena "joki strava" belakangan muncul.

Fenomena ini merupakan satu turunan dari fenomena "mendadak atlet", yang hadir berkat kejelian memanfaatkan perilaku "FOMO" terhadap tren upload statistik aktivitas olahraga dari aplikasi Strava di media sosial.

Tentu saja, joki strava adalah satu peluang yang datang, antara lain karena situasi dan perilaku. Misalnya, para pengguna joki strava ini sedang "kebelet eksis" tapi enggan melatih diri, tidak cukup kuat secara fisik, atau memang sedang terlalu sibuk.

Bagi sang joki, ini jelas profesi yang menyenangkan. Kapan lagi bisa berolahraga santai tapi dibayar?

Tapi, pertanyaan layak disematkan pada si pengguna jasa. Apa boleh FOMO-ini?

Bukannya tak boleh, ini adalah satu hal buruk jika dibiasakan, apalagi secara rutin. Di awal, mungkin terlihat keren tapi karena ini satu kebohongan, cepat atau lambat pasti akan ketahuan juga.

Perilaku semacam ini terlihat lucu saat ketahuan, karena pengguna joki strava itu ternyata tidak sehebat seperti yang selama ini dipamerkan.

Jangankan jogging jarak jauh, apalagi lari dengan kecepatan tinggi, jalan santai jarak jauh saja sudah kehabisan napas. Malunya pasti berlapis, itupun kalau masih punya malu.

Satu-satunya yang terbukti benar hanya swafoto dengan pakaian olahraga lengkap dan gadget mutakhir. Selebihnya, entahlah.

Bisa jadi, berfoto saja sudah sangat melelahkan. Tak ada lagi tenaga untuk berolahraga, karena berfoto itulah olahraganya.

Di sisi lain, fenomena joki strava menjadi satu contoh lain, yang menunjukkan, kebutuhan akan aktualisasi diri kadang begitu besar.

Saking besarnya, orang kadang sampai lupa diri. Apa yang dibutuhkan tidak sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan aktual.

Malah, kebutuhan untuk aktualisasi diri lewat joki strava ini sebenarnya justru bukan kebutuhan. Kalaupun tidak dilakukan, sebenarnya tidak masalah.

Tapi, karena tuntutan pergaulan dan tren, skala prioritas jadi kacau. Akibatnya, membayar joki strava pun rela dilakukan, berapapun biayanya.

Padahal, selain merupakan aktivitas fisik, olahraga adalah sebuah sarana kontemplatif, antara lain untuk belajar jujur dan mengenali diri sendiri, termasuk seberapa jauh kemampuan tubuh dalam berolahraga.

Kalau ternyata tidak cukup mampu, tapi tak ingin dibilang "kudet" menjadi FOMO jelas bukan solusi. Ini hanya akan jadi "kegiatan menyiksa diri dengan gaya". Sudah keluar banyak ongkos, capek, jenuh juga. Belum lagi kalau mendapat cedera.

Masih banyak aktivitas lain yang masih bisa dilakukan. Bisa menulis, menyanyi, atau memasak. Rebahan pun tidak masalah, karena beda orang beda gaya, beda cara, beda kapasitas.

Tidak ada yang salah jika kita tidak mengikuti tren, karena memang tidak mampu. Lebih baik jujur kepada diri sendiri, karena itu akan membuat kita leluasa untuk jujur kepada orang lain.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun