Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Gereja dalam Siklus Tumpang Tindih: Sebuah Opini

4 Juli 2024   23:59 Diperbarui: 5 Juli 2024   00:22 80 4
Sebelum melangkah lebih jauh, izinkan saya menjelaskan, apa yang saya tulis ini datang dari sudut pandang personal saya sebagai seorang warga gereja, dalam hal ini gereja Kristen di Indonesia, berdasarkan fenomena dari sedikit dinamika, yang sudah saya lihat sejak lama, dan juga telah cukup lama menjadi satu pergumulan bagi sebagian pihak.

Secara garis besar, tumpang tindih yang saya sorot disini datang dari keberadaan gereja Kristen gaya klasik dan kontemporer, yang sekilas terlihat saling mengisi dari luar, tapi punya dampak cenderung tidak sehat di dalam, buat gereja tersebut, dalam posisinya sebagai satu institusi.

Sebagai penjelasan, gereja gaya klasik yang saya maksud adalah, gereja yang bernaung di bawah payung Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)

Kembali ke laptop. Saling mengisi yang saya maksud di sini adalah sebuah siklus "datang dan pergi" yang biasa terjadi.

Dalam banyak kasus, gereja gaya klasik atau aliran "mainstream" umumnya mengalami masalah dalam hal regenerasi anggota, karena sebagian generasi muda (terutama di kota besar) biasanya beralih ke gereja aliran kontemporer, yang kebanyakan berkembang cukup pesat di Indonesia, khususnya setelah era reformasi dimulai.

Pergeseran ini sendiri muncul, karena gaya litugi dan materi ibadah di gereja aliran kontemporer memang menyasar generasi muda. Segala sesuatu yang ditampilkan di sini dibuat se-relevan mungkin dengan generasi muda.

Tidak ada litugi runtut yang "baku", karena improvisasi dan kreativitas mendapat ruang lebih banyak. Jadi, bukan kejutan kalau euforia dan emosional menjadi corak suasana dominan, yang pada titik tertentu membuatnya terlihat seperti sebuah konser: terasa meriah, dan dilengkapi dengan alat musik band modern.

Memang, gaya ini terasa segar dan kuat, karena ikut didukung kampanye masif di media sosial. Masalahnya, "kesegaran" ini dibangun di atas pondasi yang cenderung rapuh di beberapa aspek kunci.

Dari struktur organisasi, titik rawan gereja kontemporer ada pada keberadaan figur pendeta, "tokoh" atau "ikon" tertentu yang kuat secara persona, dan dianggap sebagai sosok pemimpin.

Dari segi popularitas, keberadaan sosok seperti ini cukup efektif menarik audiens, tapi sekali figur sosok ini bermasalah atau pergi, pamor gereja itu tak lagi sama. Sederhananya, tidak ada keberlanjutan institusional yang konsisten, karena adanya figur yang terlalu sentralistik.

Sisi "ketokohan" yang dominan ini juga cenderung mengabaikan aspek legalitas institusi, karena kurang mengedepankan pentingnya posisi gereja sebagai sebuah institusi, yang keberadaannya secara legal perlu diakui, dilindungi dan dijamin negara.

Ini jelas berbanding terbalik dengan gereja klasik, yang sisi "institusional" nya jauh lebih kuat dari "ketokohan" nya. Karena sisi institusional inilah, gereja aliran klasik cenderung lebih transparan, misalnya dalam hal laporan keuangan, sebagai satu bentuk pertanggungjawaban etis.

Jadi, bukan hal mengejutkan kalau warga gereja kontemporer kadang terpaksa "berpaling kembali" ke gereja klasik, ketika suatu saat harus menghadapi perkara terkait urusan legalitas, yang memang membutuhkan dokumen resmi, misal pernikahan atau kematian.

Uniknya, ketika seorang warga gereja kontemporer sudah mulai "menua" atau merasa tidak lagi relevan dengan gaya ibadah kontemporer, ada kecenderungan untuk mereka kembali ke gereja lama.  

Meski begitu, fenomena keluar-masuk ini cenderung kurang sehat buat kedua belah pihak. Gereja aliran klasik cenderung kurang "lincah" karena kekurangan anggota berusia muda, sementara gereja aliran kontemporer cenderung kesulitan untuk jadi lebih "dewasa" karena terlalu fokus pada segmen audiens usia muda.

Gaya "rekrutmen jemaat" gereja kontemporer juga cenderung pragmatis, karena cukup banyak menyasar orang yang memang sudah bergereja. Bukan lewat misi ke daerah-daerah pelosok atau pembinaan, termasuk sejak usia anak-anak.

Siklus keluar-masuk ini merupakan satu fenomena alami di gereja Kristen secara umum, karena gereja aliran kontemporer pada dasarnya memang membidik kaum muda sebagai segmen audiens utama.

Alhasil, mereka kurang bisa mengakomodasi generasi senior maupun difabel, yang secara fisik kurang bisa mengikuti gaya ibadah kontemporer, yang cenderung mengedepankan suasana meriah dan gerak tubuh begitu enerjik.

Sebagai seorang difabel, saya sendiri memilih tetap setia menjadi warga gereja di sebuah gereja klasik, karena gaya lituginya cukup akomodatif dengan kondisi fisik saya. Dari sini juga saya menemukan, di balik litugi "baku" yang runtut dan "lempeng", ada sisi inklusif yang kadang  terlupakan.

Padahal, beribadah (termasuk di gereja) seharusnya bisa diikuti semua kalangan usia, dengan kondisi fisik apapun. Bukan hanya eksklusif bagi kalangan tertentu saja.

Jadi, "memanusiakan manusia" bisa diwujudkan, bahkan sejak bentuk paling sederhana. "Memanusiakan manusia" ini menjadi bagian yang sangat penting, karena membangun kesadaran paling dasar: Manusia bisa mengenali siapa dirinya, sesamanya, dan Penciptanya.

Tanpa kesadaran dasar ini, ibadah hanya akan berakhir menjadi satu rutinitas kosong, ajang aktualisasi diri, dan sarana meminta-minta. Tak ada rasa rindu yang setia memanggil, seperti saat pulang ke rumah sendiri.

Terlepas dari ruwetnya proses birokrasi perizinan dan pembangunan gereja di Indonesia, legalitas tetap menjadi aspek dasar (yang seharusnya) diperhatikan.

Bukan berarti tidak boleh beribadah secara bebas di mana saja, legalitas tetap menjadi satu kekuatan penting secara institusional, supaya rasa aman setidaknya tetap terjamin dalam jangka panjang.

Secara khusus, terjaminnya rasa aman dalam beribadah adalah satu hak dasar tiap warga gereja, yang harus dipenuhi gereja, dalam posisinya sebagai satu institusi. Sehebat apapun figur tokohnya, kekuatan secara institusional jauh lebih kuat dan berkelanjutan, apalagi kalau punya legalitas.

Kalau sampai rasa aman ini diabaikan, apalagi dikorbankan, negara juga tidak sepenuhnya bisa disalahkan, karena memang ada aturan legal negara yang wajib dipenuhi gereja, sekali lagi dalam posisinya sebagai satu institusi yang legal dan bertanggung jawab.

Berhubung fenomena tumpang tindih dan potensi kerawanan yang ada sudah berlangsung cukup lama, ada baiknya pemerintah dan pihak-pihak terkait mulai mengkoordinasi gereja-gereja di luar PGI dan KWI, misalnya dalam satu wadah khusus, atau apapun sebutannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun