Di Piala Eropa edisi 2024, sebenarnya ada beberapa tim yang mampu menciptakan sensasi. Georgia langsung lolos ke babak gugur di debutnya, Swiss mampu menahan imbang Jerman dan mengalahkan Italia, dan Turki mampu melaju ke perempatfinal.
Tapi, diantara sensasi hebat itu, sebenarnya ada Austria yang diluar dugaan mampu menjadi juara di fase grup, mengungguli Prancis, Belanda dan Polandia. Tiga tim yang diatas kertas lebih berpengalaman.
Terlepas dari performa kurang optimal ketiganya, tim asuhan Ralf Rangnick ini menjadi sensasi tersendiri, karena menampilkan gaya main agresif bertempo tinggi, yang cukup enak ditonton.
Hasilnya, Prancis dibuat keteteran, dan beruntung karena "tertolong" gol bunuh diri Maximilian Wober. Polandia dipaksa angkat koper, dan Belanda mampu ditekuk 2-3.
Dengan performa seperti ini, wajar kalau Marcel Sabitzer dkk lalu dipandang sebagai tim kuda hitam. Dengan sistem "gegenpressing" yang diterapkan sang pelatih, mereka terlihat sebagai satu tim yang tangguh.
Sebelum menciptakan sensasi di Jerman, Das Team sebenarnya sudah lebih dulu membangun konsistensi performa di fase kualifikasi, dengan mengungguli Swedia dan bersaing ketat dengan Belgia. Jadi, mereka sudah terbiasa dengan tekanan dan situasi persaingan di babak fase grup.
Jadi, kejutan yang ditampilkan Austria di fase grup Euro 2024 pada dasarnya bukan sebuah kejutan, karena mereka sudah menyiapkan diri sejak jauh hari. Tepatnya, sejak Ralf Rangnick mulai melatih di sana sejak 2022.
Masalahnya, mentalitas yang sudah terbentuk ini hanya efektif di fase kualifikasi dan fase grup turnamen, karena hasil negatif di satu pertandingan masih bisa diperbaiki di pertandingan berikutnya.
Tentu saja, ini sangat berbeda dengan situasi dan tekanan di fase gugur. Di fase gugur, hanya ada satu pertandingan. Tidak ada kesempatan kedua, dan detail kecil bisa menentukan hasil akhir.
Perbedaan mendasar ini rupanya masih belum sepenuhnya diantisipasi Ralf Rangnick dan tim kepelatihan Timnas Austria. Inilah satu titik lemah yang mampu dimanfaatkan Turki, saat kedua tim berhadapan di babak 16 besar Piala Eropa 2024.
Secara efektif, tim asuhan Vincenzo Montella itu mampu memberikan pukulan telak, lewat sepasang gol Merih Demiral. Satu gol kilat di menit awal, dan satu gol lagi menjelang satu jam pertandingan membuat mereka mampu mengontrol situasi.
Arda Guler dkk memang sempat digempur dan kebobolan satu gol lewat Michael Gregoritsch, tapi mereka tetap menang 2-1 atas Austria, dan akan menghadapi Belanda di babak perempat final.
Apa boleh buat, sensasi Austria di bawah arahan pelatih asal Jerman ini pun harus berakhir, secepat saat pertama kali mencuat. Segala puja-puji yang datang di fase grup, pada akhirnya malah jadi awal kejatuhan mereka.
Kisah Austria di Euro 2024 mungkin terlihat indah di awal, dan membuat mereka begitu disukai. Tapi akhir antiklimaks mereka malah membuat cerita itu menjadi satu episode tragis.
Meski begitu, kisah Burschen di Piala Eropa 2024 menjadi satu contoh bagus untuk dilihat. Untuk jadi juara, bukan hanya sistem yang perlu dibangun dan diterapkan, tapi ada mentalitas yang perlu dibentuk dan dikembangkan secara bertahap.
Tim yang terbiasa lolos kualifikasi dan jago di fase grup belum tentu bisa bersaing di babak gugur, tapi tim yang terbiasa mencapai babak gugur akan semakin berkembang karena dibentuk oleh pengalaman bertanding.