Mohon tunggu...
KOMENTAR
Entrepreneur Pilihan

Startup, Sudah Bermasalah Sejak dalam Pikiran

24 Juni 2024   19:12 Diperbarui: 24 Juni 2024   19:28 95 8
Judul di atas mungkin terdengar agak keras, tapi cukup menggambarkan, bagaimana situasi di balik gonjang-ganjing startup, yang bagaikan film superhero: punya sekuel masalah demi masalah.

Sebagai sebuah bisnis, startup biasanya punya badan hukum (kebanyakan berbentuk PT) layaknya sebuah perusahaan. Masalahnya, startup terlalu sering mengkondisikan diri berada dalam kondisi tidak stabil, sehingga situasinya menjadi serba tidak stabil.

Ketidakstabilan ini muncul, karena startup biasa memposisikan diri sebagai "usaha rintisan". Sekalipun valuasinya sudah menembus angka triliunan rupiah, layaknya sebuah perusahaan bonafide, posisi sebagai "usaha rintisan" membuat mereka tidak melangkah kemana-mana.

Ada progres, tapi lebih banyak penurunan, karena tidak pernah ada rencana berkelanjutan, khususnya soal bagaimana mencatat profit, dan menjaganya tetap konsisten. Profit sendiri pada dasarnya merupakan satu elemen kunci agar sebuah  bisnis bertahan, dan pada tahap lanjut berkembang.

Dalam banyak kasus, khususnya di Indonesia, kebanyakan bisnis startup malah lebih fokus mencari suntikan dana sebanyak mungkin ketimbang profit. Tak heran, ada banyak bisnis startup yang langsung berani melantai di bursa saham.

Dari suntikan ke suntikan, valuasinya memang cenderung naik, tapi tidak dengan kinerja bisnisnya. Profit naik-turun, bahkan minus, sementara harga saham konsisten anjlok sampai menjadi "saham gocap" di lantai bursa.

Pada gilirannya, ketika kenaikan valuasi ini terlalu sering berhadapan dengan kinerja bisnis yang memble, terjadilah fenomena "ledakan gelembung" seperti terjadi di sejumlah startup Indonesia, pada masa pandemi.

Alhasil, startup yang terlihat sangat besar di awal, ternyata hanya sebuah unit bisnis yang tak pernah "dewasa", tapi terlalu dibesar-besarkan. Terbukti, dari waktu ke waktu, setiap kali ada masalah finansial, PHK atau restrukturisasi karyawan besar-besaran biasa jadi solusi paling umum.

Akibat ketidakdewasaan ini juga, masih banyak petinggi startup yang bergaya hidup seperti tidak terjadi apa-apa, justru di saat para karyawan sedang ketar-ketir, karena PHK bisa datang kapan saja.

Padahal, di perusahaan yang sudah "dewasa" sekalipun, PHK atau restrukturisasi karyawan besar-besaran biasanya menjadi solusi terakhir yang bisa dilakukan, bukan sebaliknya.

Sepintas, restrukturisasi ala startup terlihat seperti sebuah langkah efisiensi, terutama di era kehadiran AI alias kecerdasan buatan. Masalahnya, "efisiensi" ini lebih banyak menjadi satu kebohongan, karena biaya pengembangan dan operasional teknologi AI masih berada di luar jangkauan.

Meski bisa bekerja tanpa kenal libur dan cuti, AI masih membutuhkan biaya jauh lebih mahal dari tenaga kerja manusia. Jadi, bukan kejutan kalau setelah restrukturisasi karyawan, kinerja bisnis startup masih cenderung jeblok.

Hengkangnya para pimpinan startup secara beruntun lalu menjadi satu fenomena wajar, karena mereka sudah tidak punya lagi "tumbal" untuk dikorbankan. Ketika investor baru masuk, seperti yang terjadi di GoTo setelah mayoritas sahamnya dibeli TikTok, pergi sebelum didepak adalah keputusan paling masuk akal.

Di sisi lain, dinamika di bisnis startup, yang  makin kesini makin terlihat suram, juga menunjukkan, startup hanya menawarkan disrupsi semu, Di awal mungkin terlihat menjanjikan, tapi ternyata menghadirkan kerusakan besar dalam jangka panjang, karena memang tak berkelanjutan.

Lagipula, suntikan dana sebesar apapun pada dasarnya adalah hutang yang suatu saat harus dibayar, bukan aset yang pantas dibanggakan. Inilah salah satu faktor yang membuat startup kekinian sudah bermasalah, bahkan sejak dalam pikiran.

Jika sebuah bisnis (termasuk startup) dibangun diatas tumpukan hutang yang tak "diputar" untuk mencapai profit, dan terlanjur ketagihan mengandalkan suntikan dana, hanya tinggal tunggu waktu saja sebelum masalah dan kerusakan berikutnya datang, dengan dampak yang semakin kompleks.

Mengenaskan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun