Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sekali Bermimpi, Sudah Itu Mati

23 Juni 2024   23:42 Diperbarui: 23 Juni 2024   23:59 67 6
Mimpi.

Kadang ini terasa sangat indah, apalagi kalau itu berawal dari momen pertama kali sepanjang hidup, yang sekaligus memecah rantai nasib sial, setiap kali ada rencana pertemuan atau kencan dengan lawan jenis.

Dulu, setiap kali rencana terucap dan diterima, itu selalu batal, karena aku mendadak sakit atau cedera. Jadi, ketika kesempatan ini datang, aku sengaja mengatur waktunya setelah aku beribadah di gereja.

Aku ingat, hari itu aku beribadah dengan hati berdoa sedemikian kencang, supaya tidak ada pengalaman getir seperti yang sudah-sudah. Syukurlah, Yang Di Atas berkenan mendengar.

Demi momen malam itu juga, aku rela menukar waktu menonton aksi tim sepak bola kesayanganku, dan saat kami kembali, dia mengantarku sampai depan rumah. Satu pengorbanan sepadan, untuk sebuah momen interaksi 3 jam lebih yang begitu cair.

Aku sangat bersyukur ketika semuanya berakhir, dan saking bersyukurnya, aku sampai berseloroh,

"Akhirnya bisa pecah telur juga."

Malam itu, aku sulit tidur, tapi rasanya melegakan sekali, karena nasib apes dan rasa penasaran selama bertahun-tahun akhirnya terputus. Inilah satu memori yang akhirnya datang, membawa serta sedikit rasa gembira. Ini seperti mimpi indah.

Bagaimana tidak?

Ada proporsi mendengar dan didengar, seperti halnya mengerti dan dimengerti, yang sungguh seimbang. Ada perlakuan sebegitu baik, tanpa lupa memberiku ruang untuk berusaha dan bergerak sendiri.

Satu situasi yang terakhir datang, saat Opa masih ada. Aku sangat bersyukur, karena masih boleh menjumpai ini, setelah nyaris sepuluh tahun lamanya.

Ada sedikit rasa lega, karena aku masih boleh diperlakukan sebagai manusia seutuhnya, bukan "orang sakit" yang dibiarkan menghilang dan terlupakan ketika sedang ambruk atau tak bisa dipakai.

Saking leganya, aku sampai bilang,

"Terima kasih, setiap kita bertemu, aku serasa bertemu dengan Opa sekali lagi."

Pertemuan kami, pada awalnya sama-sama berawal dari kebetulan. Kebetulan ini terjadi dua kali, ketika kami berada di satu kota dan komunitas keagamaan yang sama.

Semua terlihat normal dan wajar, sampai tiba-tiba dia berubah setelah nyaris setahun. Entah kenapa, aku dianggapnya seperti sudah mati. Sosok yang tadinya hangat seperti secangkir kopi hitam, telah berubah jadi sedingin tiupan angin di musim kering.

Tak ada lagi respon setiap kali berkirim pesan, tapi dia tak pernah menghapus atau memblokirku. Jujur, ini membingungkan, tapi semoga (dan setidaknya) aku bukan orang yang dianggapnya musuh.

Mungkin, inilah satu titik rehat buat kami, karena tak pernah ada kata "selamat tinggal" yang pernah terucap. Tapi, jika ini caranya mengucapkan "selamat tinggal", aku tak punya alasan untuk marah.

Itulah cara ternyaman yang mungkin paling bisa dilakukannya untukku, karenanya, aku juga ingin menggunakan cara ternyamanku. Meski dia memperlakukanku seperti sudah mati, aku tetap harus banyak berterima kasih padanya, karena pengalaman ini adalah satu hadiah berharga menuju pengalaman sesungguhnya.

Satu lagi, dia sudah memutus rantai nasib sialku, dan memperlakukanku dengan sangat baik. Jadi, ini bukan "selamat tinggal", tapi "sampai jumpa lagi" karena kita tak pernah tahu, bagaimana semesta mempertemukan lagi, setelah banyak hal baik yang boleh saling dibagikan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun