Kebetulan, Kompasiana punya beragam program, termasuk K-Rewards yang sejauh ini rutin diadakan. Terlepas dari plus-minus yang ada, program semacam ini patut diapresiasi, karena menjadi satu sarana, yang pada titik tertentu bisa menjadi motivasi positif untuk rajin menulis.
Tapi, K-Rewards juga menghadirkan satu titik rawan, ketika peraih hadiah terbanyak mendapat angka bernominal jauh diatas yang lain. Fenomena semacam ini sudah pernah terjadi, setidaknya dalam dua kesempatan.
Sebelumnya, Kompasiana sudah pernah kecolongan ketika ada oknum Kompasianer yang mampu mengakali optimasi konten di mesin pencari (SEO) sehingga mendapat hadiah K-Rewards dengan nominal luar biasa besar, jika dibanding Kompasianer lain.
Momen kurang mengenakkan ini pun menjadi pengalaman berharga buat Kompasiana dan Kompasianer secara umum, karena masih ada sinergi yang cukup bagus.
Dalam artian, Kompasiana tidak menutup telinga pada masukan Kompasianer, khususnya jika masukan itu bersifat membangun, dan Kompasianer juga leluasa memberi masukan, tanpa perlu takut kena semprit.
Berkat sinergi ini juga, penanganan kasus terkait "pelanggaran" seputar K-Rewards semakin mulus. Terbukti, ada kasus yang baru jadi pembicaraan Kompasianer, justru setelah selesai ditindak pengelola Kompasiana.
Jelas, ada kemajuan yang terlihat di sini, apalagi setelah Kompasiana memperbarui ketentuan soal K-Rewards. Dengan harapan, "fair play" bisa tetap dijaga.
Masalahnya, ketika "ketimpangan" itu kembali muncul, pihak pengelola Kompasiana seharusnya bisa melihat lagi, celah titik rawan apa yang kali ini bisa dimanfaatkan.
Untuk masalah mengakali SEO, celahnya memang sudah ditutup dengan ketentuan hanya artikel berlabel (minimal) "pilihan" yang masuk hitungan. Jadi, tidak bisa asal menulis dan dapat klik banyak.
Praktis, titik rawan tersisa tinggal "sharing" artikel di media sosial. Dengan banyaknya ragam "platform" media sosial, berbagi tulisan menjadi satu hal yang sama sekali tidak aneh.
Satu-satunya yang menjadi titik rawan adalah, ketika ada Kompasianer yang tanpa malu-malu membagikan tulisan sendiri di mana saja, termasuk di tempat yang tidak seharusnya, membuat grup "chat" tempat berbagi tulisan sendiri, kalau perlu dalam jumlah sebanyak mungkin.
Jika jejaringnya luas, dan setiap grup yang dibuat diikuti banyak orang, jumlah klik dan "vote" akan mengalir dengan sendirinya. Secara kasat mata, ini memang logis, wajar dan legal. Ada juga teladan bagus, ketika si Kompasianer memang sudah rutin menulis setiap hari.
Tapi, ini bukan satu hal yang cukup sehat untuk dibiasakan. Khususnya, kalau yang bersangkutan jarang "blogwalking", apalagi berinteraksi dengan sesama Kompasianer, entah di kolom komentar atau di media sosial (selain membagikan tulisan sendiri).
Padahal, interaksi antar-Kompasianer tidak sebatas saling berbagi tulisan. Ada saatnya bercanda, ngobrol di media sosial, bahkan kopi darat, karena ber-Kompasiana tidak hanya sebatas "saling membagikan tulisan".
Sebangga apapun seseorang pada tulisannya, normalnya masih ada sedikit rasa malu untuk membagikan itu, apalagi secara rutin dan masif. Kecuali kalau memang tingkat narsisnya sudah terlalu tinggi dan dia hanya peduli dengan angka klik dan vote. Dibaca atau tidak, bodo amat, yang penting sudah klik, scroll dan vote.
Disadari atau tidak, gaya seperti ini memang bisa memacu seseorang untuk lebih semangat menulis. Bayangkan, hanya dengan menulis artikel dan mengumpulkan banyak klik, ada kesempatan mendapat penghasilan kurang lebih sebesar UMR beberapa provinsi di Indonesia.
Masalahnya, kalau motivasi itu lalu menghasilkan semangat "yang penting nulis" tapi hasilnya "asal jadi", dan banyak yang meniru, itu bisa jadi bahaya laten, yang bisa berpengaruh buruk pada Kompasiana secara umum, dalam posisinya sebagai platform menulis dan jurnalisme warga, bukan platform "news aggregator".
Bagi Kompasianer yang memang ingin membangun kebiasaan menulis, perilaku "tidak sehat" itu bisa menjadi racun yang merusak semangat, baik bagi mereka yang sudah lama ataupun masih baru mulai.
Bukannya menumbuhkan budaya literasi, sebuah perilaku tidak sehat (yang dibiasakan) bisa membuatnya jadi kontraproduktif. Kalau hasilnya sesuai harapan, pasti jalan terus, tapi kalau tidak, kebanyakan langsung stop.
Bagi saya secara pribadi, fenomena "oversharing" ini cukup mengganggu, karena memang tidak berlanjut ke interaksi. Seperti bot saja. Jadi, "oversharing" seperti ini harus dibatasi.
Percuma sebuah tulisan dibuat susah payah dan diapresiasi "tuan rumah" secara layak, bahkan lebih dari layak, kalau pada akhirnya malah tenggelam oleh perilaku "oversharing" tulisan yang terstruktur, sistematis dan masif, layaknya sebuah kampanye. Kering interaksi dua arah.
Lucunya, model ala tim sukses kampanye ini kadang juga hadir, pada masa penghargaan seperti Kompasianival. Andai Kompasianer pemilik "suporter" dan klik terbanyak jadi kriteria wajib pemenang, dominasi itu sudah pasti mutlak milik segelintir orang tiap tahun, seperti Paris Saint Germain dan gelar juara Ligue 1 Prancis di sepak bola Eropa.
Apa boleh buat, mereka yang hanya menulis dan berinteraksi sewajarnya, akan terlihat bak ikan endemik di tengah gerombolan ikan invasif, seperti yang terjadi di Danau Toba.
Jadi, tidak kaget kalau pada prosesnya, banyak Kompasianer yang memilih minggir. Inilah satu PR baru untuk pengelola Kompasiana secara umum, supaya interaksi antar-Kompasianer bisa tetap sehat.
Di sisi lain, keberadaan K-Rewards bisa menjadi satu alat deteksi dini, khususnya jika ada gangguan. Entah itu lewat SEO atau perilaku tidak sehat lainnya, semua bisa terlihat dari jumlah perolehan yang timpang.
Semakin besar ketimpangannya, semakin tampak masalahnya. Otomatis pengamatan dan pembaruan rutin perlu dilakukan secara cermat, karena selalu ada celah yang bisa diakali di tiap pembaruan, dan itu rawan berdampak negatif jika terus dibiarkan.
Jangan sampai, dinamika positif berkomunitas yang ada dirusak oleh kebiasaan tidak sehat ala timses kampanye, akibat membuat kuantitas jadi anak emas, tapi kualitas malah jadi anak tiri. Kalau kerusakan ini sampai disadari publik di luar Kompasianer, butuh waktu lama untuk memperbaiki.
Seharusnya, ini menjadi kesadaran bersama, selama Kompasiana masih menghidupi nilai "Beyond Blogging", "Berkelanjutan" dan sejenisnya, bukan "oversharing".