Laga yang juga menjadi partai terakhir Toni Kroos bersama Real Madrid ini sebenarnya berjalan cukup alot, terutama di babak pertama. Terbukti, skor kacamata menjadi hasil saat kedua tim turun minum.
Di babak kedua, Si Putih mampu menunjukkan kelas mereka sebagai tim spesialis final Liga Champions. Gol-gol Dani Carvajal dan Vinicius Junior menamatkan perlawanan Dortmund di Wembley.
Secara hasil akhir, kemenangan El Real memang membuktikan, mereka punya kematangan mental dan kualitas tim kelas satu. Meski sempat diganggu masalah cedera, tim raksasa Spanyol ini masih belum tergoyahkan.
Tapi, kalau dirunut sejak 11 musim terakhir, tepatnya saat Los Blancos meraih La Decima di final Liga Champions musim 2013-2014, mulai muncul kesan "membosankan" dari kompetisi kasta tertinggi antarklub Eropa.
Dari 11 musim terakhir, tim kesayangan Madridista mampu meraih 6 titel Si Kuping Besar. Tiga diantaranya bahkan diraih secara beruntun, antara tahun 2016-2018. Sebuah kecenderungan dominasi yang sangat terlihat.
Kecenderungan dominasi dari tim ibukota Spanyol ini sekilas terlihat wajar. Sejak Florentino Perez menghadirkan lagi proyek olahraga Los Galacticos (yang belakangan menyasar talenta muda terbaik di dunia) belum ada lagi tim yang bisa konsisten menjadi lawan sebanding.
Barcelona yang membanggakan tiki-taka dan La Masia masih berkubang dalam lumpur krisis keuangan, sementara PSG dan Manchester City jelas masih kalah pengalaman. Liverpool dan Bayern Munich punya tim cukup kuat, tapi masih punya siklus naik-turun dan bongkar pasang tim relatif pendek.
Berkat manajemen keuangan yang oke dan orientasi transfer pemain jangka panjang, kondisi Real Madrid jauh lebih stabil. Di bursa transfer, nama besar klub menjadi satu daya tarik yang tak bisa ditolak mentah-mentah.
Alhasil, butuh tim yang benar-benar istimewa untuk bisa mengalahkan Los Merengues di Eropa. Juventus versi "prime" di periode pertama Massimiliano Allegri, tim istimewa Ajax Amsterdam, Chelsea nya Thomas Tuchel, dan Manchester City-nya Pep Guardiola yang perfeksionis.
Tim-tim diatas memang spesial, tapi tidak sekonsisten Real Madrid sedekade terakhir. Real sendiri terbiasa menjalani masa transisi yang relatif cepat. Setiap kali ditinggal pergi pemain bintangnya, tak perlu waktu lama mendapat pengganti sepadan.
Dimulai dari kepergian Cristiano Ronaldo ke Juventus tahun 2018, disusul Karim Benzema ke Al Ittihad (2023), yang menghadirkan ruang buat duo Brasil Vinicius-Rodrygo, plus Jude Bellingham dan Joselu si "supersub".
Untuk musim 2024-2025, klub penghuni Estadio Santiago Bernabeu ini bahkan sudah memastikan kedatangan Endryck (Brasil) dari Palmeiras, plus bersiap meresmikan Kylian Mbappe. Jadi, bisa dibayangkan seberapa seram lini serang mereka.
Masalahnya, konsistensi seperti ini malah membuat kompetisi Liga Champions jadi terasa membosankan. Saking stabilnya performa Real Madrid di final Liga Champions, hampir tak ada celah untuk kejutan di final.
Klub rival bebuyutan Barcelona itu sendiri ternyata mulai merasa, kompetisi Liga Champions kurang menantang. Tak heran, mereka lalu menginisiasi proyek olahraga ambisius Liga Super Eropa pada 2021.
Meski awalnya mampu menarik klub raksasa dari liga top Eropa, proyek ini akhirnya kolaps. Dengan hanya menyisakan Real Madrid dan Barcelona, belum diketahui bagaimana kelanjutan proyek yang secara teknis sudah "mati suri" ini.
UEFA sendiri sadar dengan situasi pasca gejolak Liga Super Eropa, dan ancaman "titik jenuh" Liga Champions. Karena itulah, mereka merancang format baru kompetisi, dengan melibatkan 36 klub.
Terlepas dari kritik karena jadwal yang dinilai sangat padat, format baru Liga Champions ini bisa menjadi satu tantangan menarik buat Real Madrid.
Kalau ternyata mampu diatasi, bahkan dengan mudah, berarti bukan kualitas kompetisinya yang buruk, tapi Real Madrid-lah yang memang terlalu bagus.
Dengan level konsistensi sehebat itu, rasanya Real Madrid tak akan butuh waktu terlalu lama untuk meraih titel Liga Champions ke 20 mereka. Tapi, dominasi superior seperti ini bisa menghasilkan ketimpangan lebih jauh, dan membuat kompetisi terasa membosankan.
Sebuah ironi muram, dari kompetisi tingkat benua, yang selama bertahun-tahun sudah jadi kiblat sepak bola di level antarklub.