Tapi, aksi Tim Garuda Muda di Qatar meninggalkan sebuah ironi yang terdengar agak konyol. Disebut demikian, karena ini adalah satu kesuksesan yang justru dipandang sebagian pihak sebagai satu kegagalan.
Secara performa, tim asuhan Shin Tae-yong ini bisa dibilang sukses, karena langsung mencapai semifinal sebagai debutan. Capaian ini bahkan melebihi target awal PSSI, yakni lolos dari fase grup, alias mencapai babak perempat final.
Prosesnya pun terbilang istimewa, karena Ernando Ari dkk mampu bangkit dari kekalahan melawan Qatar, dengan mengalahkan Australia dan Jordania di fase grup, sebelum mengalahkan Korea Selatan lewat adu penalti di babak perempat final.
Kesuksesan ini juga diakui PSSI secara terbuka, dengan memberi pelatih Shin Tae-yong perpanjangan kontrak sampai tahun 2027. Sebelumnya, pelatih asal Korea Selatan itu sudah berhasil membawa Timnas Indonesia senior lolos dari fase grup Piala Asia 2023, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.
PSSI (lewat sokongan dana sejumlah pengusaha nasional) juga memberi bonus mencapai puluhan miliar rupiah untuk Timnas U-23. Kalau ini sebuah kegagalan, tak mungkin ada bonus begitu besar buat tim.
Secara performa tim, Timnas U-23 juga sudah menunjukkan kemajuan pesat. Tim U-23 yang biasanya hanya bersaing di level Asia Tenggara, sudah bisa mencatat kejutan di level Asia. Sebuah fondasi yang (seharusnya) bisa menjadi modal untuk progres lebih lanjut.
Sayang, kesuksesan ini dianggap kegagalan oleh sebagian pihak, karena Timnas U-23 tidak menjadi juara. Padahal, tim ini memang belum cukup kapabel untuk itu.
Di era modern, bahkan kalau ditarik mundur ke 30-40 tahun terakhir, Timnas Indonesia (di berbagai kelompok umur) tidak pernah mencapai babak semifinal Piala Asia, apalagi juara.
Jadi, kalau kita lalu mendengar banyak prediksi rasa ekspektasi, ini malah bisa merusak progres yang sudah ada, dan melupakan proses yang seharusnya masih berjalan.
Di sepak bola nasional sendiri, masalah ini sudah pernah terjadi di Timnas U-16 generasi Ernando Ari dkk, dan Timnas U-19 angkatan Egy Maulana Vikri dkk. Mereka sama-sama mampu lolos ke babak perempat final Piala Asia di level kelompok umur masing-masing.
Tapi, tak banyak yang bisa "naik kelas" ke level kelompok umur berikutnya, apalagi naik ke tim nasional senior. Tingginya harapan publik sepak bola nasional, ditambah aneka masalah pada sang pemain, akhirnya malah menciptakan cerita "layu sebelum berkembang" yang selalu ada dari generasi ke generasi.
Cerita serupa juga bisa terjadi di Timnas U-23 yang menjadi semifinalis Piala Asia U-23. Bukan karena pesimis atau semacamnya, tapi karena sepak bola nasional sudah punya catatan rekam jejak seperti itu, dan fenomena ini sudah umum terjadi di sepak bola secara umum.
Di sepak bola dunia, sudah ada begitu banyak cerita soal juara kelompok umur yang melempem di level berikutnya.
Sebagai contoh, Timnas Nigeria merupakan tim tersukses di Piala Dunia U-17 (5 kali juara) dan beberapa kali meraih medali di Olimpiade, termasuk medali emas di edisi 1996.
Tapi, ketika naik kelas ke level senior para pemain dari tim juara di kelompok U-17 ini malah kesulitan berprestasi di level Piala Dunia U-20 dan senior. Tingginya harapan karena juara di level sebelumnya, ditambah aneka masalah pada pemain tertentu, benar-benar sukses merusak tim yang seharusnya bisa lebih berkembang.
Malah, tim yang sukses meraih prestasi sebagian pemainnya bukan dari Timnas U-17 yang pernah juara dunia. Karena itulah, publik sepak bola nasional seharusnya perlu menyadari, ada di mana posisi dan arah tim nasional Indonesia.
Jangan sampai, kejutan besar di Piala Asia menjadi satu-satunya, hanya karena dirusak perilaku toksik orang-orang lupa daratan yang tidak menghargai proses atau hanya ingin FOMO.
Membuat satu prestasi historis memang keren, tapi bukan berarti boleh lupa diri, karena ada tantangan besar yang harus dihadapi, supaya bisa konsisten bahkan lebih baik. Jika gagal, jangan salahkan siapapun selain diri sendiri, jika ada pendapat begini: prestasi hebat di masa lalu itu hanya satu kebetulan.
Bisa?