Meski hanya mendatangkan Wataru Endo, Alexis MacAllister, Dominik Szoboszlai dan Ryan Gravenberch, itu sudah cukup ampuh mengubah sektor dapur serangan jadi lebih hidup. Apalagi, pemain-pemain lulusan akademi macam Connor Bradley, Bobby Clark, dan Jarrel Quansah juga mulai masuk tim senior
Narasi soal Quadruple Winner bahkan sempat muncul, ketika klub kota pelabuhan itu melaju sampai babak perempat final Piala FA, dan masih meraih rentetan hasil positif, meski ada saja pemain kunci yang absen.
Tapi dalam waktu sebulan terakhir, semua narasi itu berubah jadi mimpi yang tersamar. Pelan-pelan menghilang, dan uniknya sama-sama disebabkan oleh dua pertemuan melawan Manchester United di Old Trafford.
Di Piala FA, langkah Si Merah terhenti di babak perempat final usai kena "comeback" Manchester United dengan skor 4-3. Apa boleh buat, narasi soal Quadruple Winner tinggal narasi kosong.
Di Liga Inggris, United kembali jadi batu sandungan, setelah mampu memaksakan skor imbang 2-2 di Old Trafford. Sempat unggul 1-0 di babak pertama, pasukan Juergen Klopp hampir saja tumbang, andai gol-gol Bruno Fernandes dan Kobie Mainoo tak dinetralkan penalti Mohamed Salah.
Hasil ini memang masih membuat Liverpool berada di pacuan juara liga, tapi mereka tak boleh membuat kesalahan lagi, dan perlu menang dengan mencetak banyak gol, sambil berharap Manchester City dan Arsenal tersandung.
Di satu sisi, narasi soal Quadruple Winner sebelum ini memang bisa jadi satu suntikan semangat ampuh. Masalahnya, dua hasil tanpa kemenangan di Old Trafford menunjukkan, seberapa berat beban mental The Kop secara tim, sehingga mereka malah tampak oleng di markas tim rival bebuyutan.
Di kedua laga ini, The Reds sama-sama sempat unggul di babak pertama, dan mengontrol jalannya pertandingan. Tapi, blunder di lini belakang, ditambah lini depan yang kurang klinis merusak semuanya.
Alih-alih menambah gol dan mengunci skor, mereka malah kecolongan. Apa boleh buat, kesempatan menang pun hilang.
Untuk ukuran tim yang bersaing di jalur juara dan sudah punya pengalaman di situasi serupa, ini sikap yang sangat buruk. Mereka tahu apa yang harus dilakukan, tapi malah bertindak ceroboh sampai merusak semuanya.
Kekalahan 4-3 atas Setan Merah di Piala FA mungkin masih bisa diterima, karena ini turnamen sistem gugur. Kalah berarti selesai. Sebuah konsekuensi simpel.
Masalahnya, kalau hasil imbang 2-2 atas The Red Devils di Liga Inggris sampai melenyapkan kesempatan meraih trofi, ini terasa konyol. Apalagi kalau pacuan juara liga sampai ditentukan oleh perbedaan selisih gol.
Pada masa lalu, Liverpool pernah dua kali kalah satu poin dari Manchester City dalam pacuan juara liga, yakni pada musim 2018-2019 dan 2021-2022. Dengan standar Manchester City yang cenderung perfeksionis, dua kekalahan ini masih bisa diterima, bahkan masih layak dipuji, karena mampu menjadi lawan seimbang dari tim yang begitu superior.
Tapi, seiring kemunculan Arsenal sebagai "tim ketiga", ditambah kematangan mental Manchester City sebagai tim pemburu gelar, kekalahan di pacuan juara liga musim 2023-2024 akan terasa menyakitkan.
Selain karena margin poin tipis, kemungkinan kalah karena perbedaan satu detail diluar perbedaan poin akan terasa lebih konyol. Rasa sakitnya pun akan terasa, bahkan sampai bertahun-tahun kemudian.
Di Liga Inggris, kekalahan semacam ini pernah terjadi ketika Manchester United kalah selisih gol dari Manchester City pada musim 2011-2012. Meski sudah berlalu sedekade lebih, Manchunian yang ingat momen dramatis ini pasti masih merasakan rasa sakit yang sama.
Kekalahan sangat dramatis seperti ini memang sebuah risiko normal dalam satu kompetisi. Masalahnya, berhubung pelatih Juergen Klopp akan mundur di akhir musim 2023-2024, kekalahan di pacuan juara Liga Inggris akan membuat "luka" kekalahan itu akan terasa sangat sakit.
Apalagi, kalau itu pada akhirnya turut disebabkan oleh kesalahan sendiri. Pilihannya cuma dua, ambruk seperti musim 2022-2023, atau meraih trofi Liga Inggris seperti musim 2019-2020.
Dengan kompetisi yang begitu intens, ditambah pergantian pelatih di musim panas 2024 nanti, kekalahan sangat dramatis akan membuat tantangan yang ada semakin kompleks.
Tapi, mengingat kacaunya performa Liverpool musim 2022-2023, dan aktivitas transfer yang hanya mendatangkan 4 pemain baru, sepak terjang tim kesayangan Kopites ini tetap akan jadi satu memori menarik, karena menjadi anomali di tengah royalnya aktivitas belanja musim panas sebagian klub Liga Inggris, termasuk Chelsea yang mampu mencatat rekor transfer pemain termahal, tapi tersesat di papan tengah Liga Inggris.
Sebuah cerita hebat tentang efektivitas belanja pemain, yang sayangnya bisa berakhir apes, jika tak ada keberuntungan dan hasil positif di pekan-pekan akhir kompetisi.