Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerita Pemilih Pilihan

Pemilu Serentak, Sudah Saatnya Ditinjau Ulang

25 Februari 2024   13:58 Diperbarui: 25 Februari 2024   13:59 141 3
Judul di atas adalah satu pendapat yang muncul di pikiran saya, dan mungkin sebagian masyarakat di Indonesia, terkait kebijakan Pemilu serentak.

Bukan karena soal hasil akhir atau semacamnya, tapi lebih karena beban kerja terlalu berat yang ditanggung petugas pemilu. Saking beratnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sampai menyebut, jam kerja petugas Pemilu 2024 seperti Kopassus, yang bekerja hingga 15-16 jam sehari.

KPU sendiri, dalam rilis resmi di sejumlah media nasional, Jumat (23/2) lalu menyebut, 90 orang meninggal dunia, terdiri dari 60 orang anggota KPPS dan 30 orang personel Linmas.

Sementara itu, data dari Kementerian Kesehatan per Sabtu (24/2) mencatat, ada total 114 petugas Pemilu meninggal dunia dan lebih dari 10 ribu petugas Pemilu yang harus dirawat di rumah sakit.

Catatan ini menjadi satu sisi horor yang berlanjut dari Pemilu serentak di Indonesia, yang sudah berlangsung sejak Pemilu 2019. Ketika itu, total 894 petugas Pemilu meninggal dunia, dan lebih dari 5 ribu lainnya harus dirawat di rumah sakit.

Secara proses, Pemilu serentak memang terlihat efisien, karena Pilpres dan Pileg bisa dijalankan dalam sehari. Sementara itu, Pilkada serentak akan digelar pada tanggal 27 November 2024 di seluruh Indonesia.

Dengan proses pelaksanaan secara serentak, potensi ketegangan dan konflik juga bisa (setidaknya) dikurangi karena masa kampanye dipastikan berlangsung lebih singkat. Tak ada juga Pilkada tiap tahun yang berlangsung sambung menyambung di tiap daerah.

Masalahnya, demi "efisiensi" dan pertimbangan stabilitas, beban kerja petugas jadi terlalu berat. Hampir tidak ada jeda, terutama pada saat-saat penting, seperti Kopassus saja.

Kopassus sendiri memang punya tugas khusus, yang berkaitan langsung dengan keamanan nasional. Kalau secara fisik saja kurang prima, bisa gawat. Banyak nyawa jadi taruhan.

Para petugas Pemilu jelas bukan Kopassus yang punya daya tahan fisik istimewa, hasil gemblengan keras TNI. Jadi, bukan kejutan kalau banyak yang ambruk akibat beban kerja terlalu berat.

Jangankan petugas Pemilu, mesin saja bisa rusak kalau diforsir bekerja terlalu keras.

Karena itulah, KPU dan pihak-pihak terkait perlu menimbang ulang sistem Pemilu yang saat ini ada. Kalau memang mau dilanjut, setidaknya bukan hanya upah yang naik, tapi ada kriteria spesifik dengan standar lebih baku.

Misalnya, dengan menetapkan batas usia maksimal 45 tahun dan tidak mempunyai komorbid maupun riwayat penyakit kronis. Dengan penetapan standar baku ini, setidaknya ada satu filter yang bisa digunakan untuk menekan angka korban sakit atau meninggal dunia.

Bukan bermaksud diskriminatif atau semacamnya, tapi penetapan kriteria spesifik soal batas usia dan riwayat kesehatan bagi calon petugas Pemilu memang seharusnya menjadi satu urgensi.

Dengan beban kerja seberat itu, jelas dibutuhkan kondisi fisik prima. Seharusnya, aspek ini menjadi satu kesadaran bersama.

Bahkan, kalau memang dibutuhkan, petugas Pemilu perlu mengikuti latihan dasar bersama Kopassus, supaya mereka bisa lebih siap menghadapi beban kerja berat dan situasi tak terduga.

Memang, KPU sudah menaikkan upah petugas Pemilu 2024, dan memberikan santunan biaya sampai puluhan juta rupiah, tapi kalau taruhannya kesehatan bahkan nyawa, jelas tidak sepadan. Apalagi  kalau upah dan santunan itu malah dikorupsi oknum nakal.

Belum lagi, Pemilu kadang membawa serta potensi konflik horizontal. Otomatis, posisi petugas Pemilu cukup rentan, sehingga perlu dibekali keterampilan yang dibutuhkan.

Karena itulah, KPU dan pihak-pihak terkait perlu menata ulang sistem kerja yang ada. Kalau memang harus menggunakan sistem shift kerja, menambah upah dan menambah jumlah personel harus dilakukan, rasanya masyarakat juga tak keberatan.

Selama anggaran yang ada tidak disalahgunakan, dan angka korban petugas Pemilu bisa ditekan sampai serendah mungkin, tidak ada yang salah di sini.

Lagipula, Pemilu sebenarnya adalah kompetisi menuju kekuasaan, yang dikemas dalam pesta demokrasi bagi rakyat. Kompetisi kadang memang membutuhkan usaha dan dana lebih untuk meraih prestasi, tapi kalau sampai jatuh korban, satu saja nyawa manusia jelas terlalu mahal harganya, apalagi kalau sampai ratusan.

Mau sampai kapan?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun