Disebut demikian, karena dua pemain lokal berbakat ini sama-sama berstatus pesakitan. Greenwood terjerat masalah dugaan pelanggaran hukum di luar lapangan, sementara Sancho didakwa bertindak indisipliner oleh pelatih Erik Ten Hag.
Akibatnya, mereka berdua sama-sama ditepikan dari tim utama Manchester United, sebelum akhirnya sama-sama dipinjamkan ke klub lain. Greenwood dipinjamkan ke Getafe (Spanyol), sementara Sancho dipinjamkan ke Borussia Dortmund (Jerman).
Situasi ini jelas tidak mengenakkan bagi keduanya, tapi mereka justru mampu membuktikan diri di klub masing-masing.
Di Spanyol, Greenwood mampu bersinar dengan mencetak 3 gol dan 4 assist dari 15 penampilan. Berkat kontribusinya, Geta nyaman di papan tengah La Liga.
Tak cukup sampai disitu, klub dari kota Madrid ini bahkan berencana mempermanenkan Greenwood dengan ongkos transfer 40 juta pounds. Tapi, rencana ini tak mudah, karena Atletico Madrid diketahui juga berminat pada sang pemain.
Beralih ke Jerman, Jadon Sancho langsung berkontribusi di debut keduanya bersama Dortmund, dengan mencatat satu assist. Meski terlihat mengejutkan, ternyata ini jadi satu hal normal buat sang gelandang serang.
Maklum, di Dortmund-lah ia membangun reputasi sebagai salah satu pemain berbakat, dan membuat Manchester United rela menggelontorkan dana transfer 73 juta pounds untuk memboyongnya ke Old Trafford.
Jadi, ketika dua pemain yang sebelumnya dicap pesakitan justru bersinar di klub lain, jelas ada yang salah. Sebelumnya, fenomena ini sudah lebih dulu terjadi, ketika Jesse Lingard bersinar di West Ham pada paruh kedua musim 2020-2021.
Ketika itu, pemain yang cenderung tampil biasa saja di United justru mampu mencatat 9 gol dan 4 assist hanya dalam 16 penampilan bersama The Hammers. Performa ini membantu klub finis di posisi enam Liga Inggris dan lolos ke Liga Europa.
Memang, ada juga kasus pemain pinjaman yang tampil melempem, seperti saat Anthony Martial dipinjamkan ke Sevilla, tapi ketika pemain-pemain yang dicap bermasalah justru bersinar, ini jelas menimbulkan tanda tanya besar.
Sebagai sebuah klub dengan popularitas global dan sejarah prestasi bagus di masa lalu, harapan besar memang jadi satu fenomena umum, tapi ketika kasus-kasus seperti Greenwood atau Lingard mulai muncul sebagai satu kebiasaan, ini sangat tidak sehat dari sisi olahraga.
Ada situasi terlalu toksik atau setidaknya kurang sehat, yang tampaknya tumbuh menjadi satu budaya, dan itu membuat performa Si Setan Merah sangat inkonsisten.
Sebelumnya, keluhan soal ini sudah pernah disuarakan Cristiano Ronaldo, dalam wawancara dengan Piers Morgan, tapi karena dinilai melanggar etika kontrak, wawancara ini berbuntut pencoretan sang bintang Portugal.
Dalam perjalanannya, masalah ini memang jadi satu aspek yang ingin dibenahi Sir Jim Ratcliffe, sejak dirinya punya saham minoritas dan diberi wewenang penuh soal urusan sepak bola.
Tapi, karena kekacauan yang ada sudah sedemikian kronis, perbaikan jelas tak akan bisa tuntas dalam sekejap. Apalagi, bos INEOS itu punya reputasi sebagai bos klub yang kurang sabar.
Sebelum melebarkan sayap ke Manchester, salah satu orang terkaya di Inggris ini sudah lebih dulu menjadi bos di OGC Nice. Dalam dua tahun terakhir, sudah ada 4 pelatih berbeda yang menangani klub Liga Prancis.
Dengan reputasi ini, ditambah masih kuatnya pengaruh keluarga Glazer di Teater Impian, pembenahan secara signifikan jelas masih jadi satu.
Menariknya, fenomena seperti Lingard dan Greenwood di Manchester United menunjukkan, sebuah klub sepak bola kadang tak hanya bicara soal hasil di lapangan, tapi juga soal bagaimana memastikan situasi dalam tim tetap kondusif.
Keduanya menjadi dua hal yang harus seiring sejalan. Tim yang solid secara internal sudah pasti tangguh, sementara tim yang kuat tapi tidak solid justru rawan diekspos lawan.