Dari nama-nama yang diboyong ke Allianz Arena, praktis hanya Daniel Peretz (23) yang merupakan pemain muda. Kiper asal Israel itu datang dari Maccabi Tel Aviv untuk melapis kiper senior Manuel Neuer, menggantikan Yann Sommer (Swiss) yang dilego ke Inter Milan. Selebihnya, datang dari pemain lulusan akademi klub.
Selain Peretz, praktis hanya Guereirro saja yang merupakan pemain pelapis. Laimer, Kane dan Kim Min Jae merupakan pemain inti di lini tengah, depan dan belakang.
Satu nama lagi, yakni Eric Dier, datang di bursa transfer musim dingin sebagai pemain pinjaman. Eks rekan setim Harry Kane di Tottenham Hotspur ini diproyeksi melapis lini tengah dan belakang.
Sebagai tim yang dominan di Bundesliga Jerman, pragmatisme Die Roten cukup bisa  dimengerti. Mereka tak ingin berputar-putar dengan mengorbitkan pemain muda hanya untuk dijual mahal, karena tujuan akhirnya bukan hanya jual-beli pemain, tapi juga meraih trofi di dalam negeri, dan kompetitif di Eropa.
Soal belanja pemain, tim dari Bavaria ini sudah lama dikritik, karena hobi menggembosi tim rival. Selain Borussia Dortmund, RB Leipzig belakangan juga menjadi "langganan" Bayern belanja pemain, dengan nama-nama seperti Dayot Upamecano dan Konrad Laimer menjadi contoh terbaru.
Secara strategi, kebiasaan ini merupakan satu cara simpel dalam menjaga dominasi di liga. Makanya, Bayern bagai tanpa lawan sebanding di liga, khususnya dalam sedekade terakhir.
Tapi, untuk musim 2023-2024, kritik itu sedikit hilang, karena kedatangan Kim Min Jae, Harry Kane dan Eric Dier. Selain itu, Bundesliga Jerman juga kedatangan tim Bayer Leverkusen yang sedang moncer di bawah arahan Xabi Alonso.
Sampai jeda musim dingin, Die Werkself masih menjadi satu-satunya tim yang belum pernah kalah di liga. Tapi, catatan belum pernah juara liga dan julukan "Neverkusen" di masa lalu masih menjadi satu tantangan psikologis terbesar buat Florian Wirtz dkk.
Situasinya berbeda dengan Bayern, yang secara tim lebih berpengalaman, dan sangat fokus pada target. Mereka punya standar yang jelas dan relatif tak berubah. Kalaupun ditinggal pemain bintang, selalu ada pengganti sepadan, seperti pada kasus Harry Kane, yang datang sebagai pengganti ideal Robert Lewandowski.Â
Ini sangat berbeda dengan kebanyakan tim Bundesliga Jerman, yang belakangan terlalu asyik menjual mahal pemain bintang, tapi terjebak dalam siklus "membangun tim tanpa henti".
Akibatnya, disaat tim lain masih konsisten dengan inkonsistensi mereka, Bayern Munich mampu meraih titel liga, sampai membuat kompetisi Bundesliga Jerman terasa membosankan. Saking dominannya, sampai muncul anekdot "Semua akan Bayern pada waktunya" di Bundesliga Jerman.
Untungnya, di balik sisi membosankan itu, Thomas Muller dkk masih konsisten menjadi wakil Jerman di Eropa, dan ikut andil menjaga koefisien liga tetap berada di peringkat empat besar terbaik di koefisien UEFA.
Di sisi lain, pragmatisme tim asuhan Thomas Tuchel ini juga menghadirkan sebuah rasionalitas, karena dibalik keputusan menggelontorkan dana transfer 150 juta euro, yang sebagian besar digunakan untuk membeli Harry Kane dan Kim Min Jae, ada pemasukan sebesar 173 juta euro, hasil penjualan pemain seperti Sadio Mane (ke Al Nassr), Lucas Hernandez (PSG), Benjamin Pavard (Inter Milan) dan Ryan Gravenberch (Liverpool).
Tentu saja, ini merupakan satu wujud efisiensi khas Jerman yang relatif jarang meleset, dan menjadi cara ideal untuk menjaga keuangan klub tetap sehat. Tapi, disinilah kita bisa menemukan, kenapa Bayern Munich masih bisa kompetitif dan relatif sehat secara finansial, di tengah tingginya standar harga transfer pemain kekinian.
Mereka paham dengan apa yang ingin dicapai dan bagaimana cara mencapainya secara efektif. Sebuah faktor mendasar yang mampu membangun dominasi, dan masih akan terus berlanjut, selama tim lain di Bundesliga Jerman masih belum punya kesadaran serupa.