Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Pilihan

Mencermati Paradoks Perhatian di Kompasiana

20 November 2023   23:15 Diperbarui: 20 November 2023   23:18 187 11
Untuk menyamakan persepsi sejak awal hingga akhir, izinkan saya memberi batasan, perhatian yang saya maksud di sini lebih berfokus pada aspek teknis, berdasarkan pengalaman selama menjadi Kompasianer.

Sebagai sebuah platform menulis, Kompasiana punya satu ciri khas, yakni orisinalitas konten dari Kompasianer, dengan keunikan, minat, bahkan keahlian masing-masing, dan berpadu sempurna dengan tata tertib standar yang berlaku.

Diluar identitas "bawaan lahir" sebagai bagian dari grup Kompas Gramedia, paduan ciri khas Kompasiana (sejauh ini) telah menjadi satu karakter, yang membuatnya bisa tetap awet, ditengah datang-perginya banyak medium sejenis di Indonesia.

Dalam perjalanannya, karakter ini menjadi semakin kuat, karena ada sebagian Kompasianer, yang cenderung sangat perfeksionis soal estetika atau tata bahasa.

Di satu sisi, atensi soal aspek bahasa ini adalah satu hal yang cukup bagus, karena bisa diterapkan langsung, baik oleh sesama Kompasianer maupun admin. Uniknya, proses natural ini terlihat berjalan secara kontinyu.

Dari sini, ada cukup ruang untuk berkembang. Dititipi bakat "dari sananya" atau memang punya bekal ilmu sebelum mulai aktif menulis, semua punya kesempatan setara untuk berkembang. Seharusnya begitu.

Tapi, ibarat dua sisi mata uang, perhatian sangat tinggi pada aspek linguistik, pada titik tertentu, justru bisa menjadi kontraproduktif.

Bagi mereka yang ingin mulai menulis, perhatian tinggi pada urusan "tata kata" ini bisa mendatangkan keraguan. Alhasil, ide atau apapun hal yang ingin diekspresikan urung terwujud.

Padahal, itu tinggal ditulis saja. Perkara benar-salah atau bagus-jelek sebuah tulisan, itu urusan nanti.

Kita tidak akan pernah tahu sebuah tulisan itu ngawur atau tidak, bagus atau jelek, kalau tulisan itu tidak pernah ditulis si pemilik ide. Kalau sebuah tulisan tidak ada wujudnya, jangan harap akan dibaca audiens, karena tak ada telepati di sini.

Sisi kontraproduktif lain, yang muncul dari sikap "terlalu rewel" soal aspek bahasa ini (dengan segala ba-bi-bu nya) adalah munculnya "budaya pembiaran" pada praktek manipulasi jumlah klik, baik yang masih berupa dugaan atau yang sudah terbukti, bahkan secara kasat mata.

Kebetulan, fenomena "ganjil" ini secara tak sengaja saya temukan, pada momen pengumuman K-Rewards bulan Oktober 2023 silam.

Awalnya, saya hanya mengobrol dengan seorang Kompasianer, sambil mengamati postingan dan suara di kolom komentar dari beberapa Kompasianer. Dalam prosesnya, saya lalu merefleksikan dan menuangkan "keganjilan" ini dalam tulisan berjudul "K-Rewards dalam Sebuah Refleksi".

Di tulisan ini, saya tak lupa mengingatkan admin Kompasiana, untuk lebih waspada pada perilaku "ganjil" sejenis, karena jika dibiarkan bisa merusak dalam jangka panjang.

Di era platform media digital seperti sekarang, perilaku "ganjil" ini turut berkontribusi pada banyaknya platform "news aggregator" dan sejenisnya, yang sudah lebih dulu gulung tikar.

Di sini, penurunan kualitas konten "populer", dan "permainan" jumlah klik oleh oknum tertentu menjadi gejala awal, yang bisa berbahaya kalau tidak langsung dicermati dan diambil tindakan.

Satu pembiaran yang menciptakan normalisasi pada satu keganjilan, bisa menjadi awal kehadiran satu budaya "ganjil" yang pada gilirannya akan seperti gerombolan lintah yang dibiarkan menghisap darah korbannya secara beramai-ramai.

Syukurlah, pada kasus ini, admin Kompasiana bisa bertindak cepat, rapi dan tegas. Saking cepat dan rapinya, pro-kontra malah baru hadir, setelah masalah secara teknis sudah tuntas ditangani.

Pendekatan "sat-set" ini menjadi satu hal yang seharusnya bisa terus dibudayakan, supaya jika ada lagi masalah serupa, nantinya bisa ditindak tuntas, tanpa menimbulkan kegaduhan atau kerusakan tak perlu.

Jadi, tidak ada lagi kesempatan buat oknum yang sudah tertangkap basah kuyup, untuk melakukan cara-cara toksik, seperti "playing victim" atau sejenisnya untuk membela diri.

Begitu juga dengan pihak-pihak oportunis yang lihai membonceng situasi. Tak ada lagi kesempatan untuk mencari panggung, karena semua sudah lebih dulu beres.

Dari sini, ada langkah pencegahan yang bisa dibangun, bersama perbaikan sistem yang (semoga) bersifat kontinyu. Jadi, masalah serupa bisa dicegah sejak dini di masa depan.

Tapi, untuk mewujudkannya, perlu ada satu kesadaran kolektif, supaya admin Kompasiana dan Kompasianer bisa bekerja sama sebagai sebuah tim yang kompak.

Maka, sudah saatnya kita berhenti menghidupi peribahasa "gajah di depan mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak", karena kita pada dasarnya sudah punya modal kebersamaan di Kompasiana, yang (seharusnya bisa) jadi sebuah kekuatan spesial, jika di dalamnya ada kesadaran bersama.

Bisa?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun