Sekilas, capaian satu poin ini terlihat bagus, karena lawan yang dihadapi adalah tim juara kedua Kejuaraan Amerika Selatan U-17, yang pada prosesnya mampu mengalahkan Argentina (1-0) dan menahan imbang Brasil (2-2).
Tapi, kalau melihat bagaimana permainan Timnas U-17 secara umum di Stadion Gelora Bung Tomo, saya dan (mungkin sebagian) publik sepak bola nasional sepakat, sebuah lagu lama telah kembali, yakni stamina pemain yang sudah habis selepas menit ke 60.
Dalam laga melawan Ekuador, jujur saja, setelah menit ke 60, Arkhan Kaka dkk terlihat cukup menderita. Dengan stamina yang sudah terkuras, beberapa pemain juga tampak harus mendapat perawatan, entah karena benturan, cedera atau masalah otot.
Di level Piala AFF atau Piala Asia, sebenarnya ini situasi yang relatif banyak terjadi, dan merupakan bagian dari strategi manajemen waktu, tapi situasinya sangat berbeda di level Piala Dunia.
Apalagi, FIFA belakangan sedang gencar mengupayakan minimalisasi "time wasting" dan semacamnya. Jadi, tidak mengejutkan kalau wasit memberikan tambahan waktu sampai 13 menit di babak  kedua.
Jelas, masalah stamina dan ketahanan pemain Timnas U-17 selepas menit 60, yang membuat permainan beberapa kali terhenti, ditambah adanya jeda "water break" di pertengahan babak kedua masuk catatan wasit. Ditambah lagi, Indonesia dan Ekuador sama-sama melakukan beberapa pergantian pemain.
Pada prosesnya, injury time 13 menit ini bahkan molor menjadi 15 menit, karena pada masa injury time, Ekuador melakukan 3 pergantian pemain, dan permainan juga sempat terhenti, karena ada pemain indonesia yang harus dirawat.
Tentu saja, wasit mencatat semua momen yang membuat permainan terhenti, sebagai pertimbangan durasi injury time. Entah benar atau tidak, hal elementer ini sepertinya lupa diantisipasi Bima Sakti dan tim pelatih Timnas U-17.
Dengan ketahanan stamina seperti itu, ditambah penderitaan yang didapat selama 45 menit terakhir, hasil imbang memang layak diapresiasi, tapi ekspresi luar biasa lelah beberapa pemain, yang bahkan sampai "rebahan" di lapangan setelah peluit panjang berbunyi seharusnya sudah cukup menjelaskan, sebuah lagu lama sepak bola nasional sudah kembali.
Jadi, tidak ada alasan untuk gembira berlebih atas hasil melawan Ekuador, karena pada tanggal 13 November mendatang, pertandingan melawan Panama sudah menunggu.
Memang, di atas kertas, Panama mungkin tidak sekuat Ekuador, tapi masih ada satu pertanyaan besar, terkait persiapan pralaga Timnas U-17.
Dengan jeda waktu kurang lebih 3 hari, apakah para pemain bisa melakukan latihan dan pemulihan fisik dengan benar?
Kalau iya, tapi stamina para pemain (lagi-lagi) sudah habis selepas menit ke 60, sepertinya siapapun yang mendukung Timnas U-17 harus bersiap menonton laga Timnas U-17 Indonesia versus Panama dengan hati tabah.
Apalagi, kalau wasit kembali memberi injury time panjang di babak kedua, akibat permainan yang sering terhenti karena ada pemain cedera. Inilah kompetisi level dunia yang tak kenal ampun, tak sebanding dengan level AFF yang kadang bisa diatur.
Kalau persiapannya tidak efektif, bukan kejutan kalau di laga melawan Panama nanti, tim pelatih Timnas U-17 akan mengganti beberapa pemain starter dari laga melawan Ekuador.
Memang, peluang lolos ke babak selanjutnya masih ada, tapi dengan tidak optimalnya kondisi fisik dan persiapan tim secara umum, merayakan hasil imbang seperti sebuah kemenangan hanya akan jadi bumerang.
Jangan sampai kita bernasib seperti Arab Saudi, yang lupa daratan dan kolaps di fase grup Piala Dunia 2022, karena mampu mengalahkan Argentina 2-1 di laga pertama fase grup.
Bisa?