Saat memulai perjalanan sebagai seorang kader partai, ia adalah seorang tukang kayu, yang merintis usaha sendiri. Bukan anak pembesar atau orang penting.
Sebelum akhirnya menjadi Presiden RI selama dua periode, ada proses yang lebih dulu dijalani, sebagai bekal pengalaman, yakni menjadi walikota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, dengan meninggalkan impresi positif.
Saat maju sebagai Capres pun, alumni Fakultas Kehutanan UGM ini datang sebagai sosok yang maju karena diusung partai dan koalisi, bukan karena punya kemampuan membeli "tiket" peserta pemilu, apalagi ambisi jadi RI 1.
Jadi, ketika "wong Solo" ini akhirnya menjadi Presiden RI, dan menghadirkan beragam catatan positif (diluar berbagai dinamika dan pro-kontra yang ada) ada sedikit harapan soal demokrasi di Indonesia, karena lewat sosok Jokowi, orang bisa melihat: siapapun bisa jadi presiden, asal punya kompetensi dan pengalaman yang sesuai.
Tentu saja, ini adalah sebuah langkah maju buat demokrasi kita, yang baru mulai tumbuh sejak Reformasi 1998. Tapi, berhubung politik nasional itu sangat dinamis, selalu ada kejutan, khususnya dari mereka yang oportunis.
Dengan rekam jejak Jokowi dan keluarga yang relatif tidak aneh-aneh, akan jadi kerugian jika profil sebagus ini tidak dimanfaatkan untuk mendulang skor elektabilitas.
Pada kasus Jokowi, ini terlihat dari kehadiran anak-anak dan menantunya di dunia politik nasional. Si sulung Gibran Rakabuming Raka sudah meniti karier sebagai Walikota Solo, sementara Kaesang menjadi Ketum Partai PSI.
Tak ketinggalan, sang menantu, yakni Bobby Nasution, juga ikut "ketiban pulung" dengan menjadi Walikota Medan.
Diluar Kaesang yang jadi Ketum PSI secara dadakan, Bobby dan Gibran (sejauh ini) sudah memperlihatkan impresi positif sebagai pemimpin di kota masing-masing. Rekam jejaknya pun masih sejalur dengan Jokowi, yakni relatif tidak aneh-aneh.
Masalahnya, dengan Kaesang naik sebagai Ketua Umum parpol secara dadakan, ditambah kemungkinan Gibran maju sebagai Cawapres Prabowo Subianto (atas dukungan Partai Golkar) kita dipaksa melihat, seberapa berat kekurangan kualitas politik nasional untuk saat ini.
Entah karena tak mau ribet atau memang tak ada pilihan lain, anak-anak Jokowi (yang seharusnya masih perlu ditempa lewat proses dan pengalaman praktis) seperti dipaksakan untuk naik kelas dengan sangat cepat di usia relatif muda (sebagai politisi).
Dengan harapan menjadi seperti sang ayah, mereka seperti mendapat karpet merah, untuk naik ke level atas. Padahal, ada begitu banyak orang yang sampai harus berdarah-darah, untuk bisa naik ke posisi mereka.
Secara realistis, punya "koneksi" yang kuat dan relatif tidak aneh-aneh, apalagi yang sekaliber Jokowi, memang akan sangat berguna. Minimal, semua sudah tahu, bagaimana rekam jejaknya.
Masalahnya, jika terus dibiasakan, cara ini akan jadi satu kebiasaan buruk. Setelah Jokowi selesai bertugas sebagai presiden, bukan tak mungkin situasi yang sama akan terjadi pada keluarga Ganjar Pranowo atau Anies Baswedan, jika terpilih menjadi presiden baru.
Kebetulan, seperti halnya Jokowi, keduanya sama-sama maju sebagai Capres yang diusung partai dan koalisi, bukan dalam posisi sebagai ketua umum atau petinggi partai.
Meski kaderisasi partai (yang berjalan dengan baik) bisa menghasilkan figur seperti Jokowi, kita patut khawatir, cara-cara khas oportunis seperti pada kasus Gibran dan Kaesang masih akan digunakan. Khususnya, selama skor elektoral dan kekuasaan masih jadi tujuan utama.
Tidak ada peluang nyata buat Politisi Muda, kecuali punya bekingan kuat.
Maka, selama cara-cara oportunis ini masih membudaya, sebagus apapun rekam jejak tokohnya, kita tidak bisa sepenuhnya percaya, apalagi menjadi fanatik.
Bukan karena skeptis, tapi lebih karena politik di Indonesia masih sebatas jadi alat polarisasi dan pembodohan publik, bukan sarana edukasi yang seharusnya bisa membuka wawasan apalagi mencerdaskan logika politik masyarakat.