Sebenarnya, ini ide yang cukup menarik, karena jika misal seorang kandidat berusia 30-39 tahun, ada kesempatan untuk mengurangi gap generasi terlalu jauh, yang selama ini sudah lama menjadi masalah.
Disadari atau tidak, masalah gap generasi ini sudah lama terjadi, dan membuat banyak hal serba tidak sinkron. Jika gap ini bisa diatasi, akselerasi pembangunan nasional dan peningkatan efisiensi kinerja antarlembaga pemerintah (seharusnya) akan lebih optimal.
Dengan dihapusnya gap generasi, regenerasi di dunia politik nasional juga akan lebih mulus, sehingga bisa terus relevan dengan dinamika yang ada.
Tapi, kalau mau adil, selain batas bawah, seharusnya batas atas usia juga perlu diperhatikan. Dalam dunia profesional saja, ada batas usia pensiun, dengan rentang usia 55-65 tahun, yang bisa ditunda selama 5 tahun, dengan pertimbangan faktor regenerasi dan level kinerja.
Pertimbangan ini jelas bisa dipahami, karena pada rentang usia ini, sebagian orang rentan mengalami penurunan kondisi kesehatan atau kemampuan secara umum, karena faktor pertambahan usia.
Memang, ada cukup banyak tokoh nasional yang masih prima di usia lanjut, tapi kalau beban kerjanya terlalu berat, dampaknya akan kurang baik buat kesehatan. Terbukti, Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan (76) sampai harus dirawat di Singapura, karena kelelahan akibat beban kerja terlalu berat.
Batas usia pensiun ini sebenarnya sudah umum digunakan, termasuk di beragam profesi abdi negara, tapi belum pernah diterapkan untuk jabatan Presiden atau Wakil Presiden. Padahal, Presiden dan Wakil Presiden pada dasarnya adalah seorang abdi negara.
Jadi, seharusnya perlu ada juga batas atas usia untuk dua jabatan krusial ini. Apalagi, selain pengalaman dan keterampilan, dibutuhkan juga kondisi prima, karena negara yang dipimpin begitu luas.
Maka, bagi politisi senior yang masih getol berambisi menjadi presiden, sudah seharusnya mereka mulai mempertimbangkan untuk tidak terlalu ngotot "nyalon" setiap kali ada Pemilu. Bukan berarti tak layak, tapi akan lebih pantas kalau mereka ikut berperan aktif dengan cara lain.
Bisa menjadi "kingmaker", bisa juga membina generasi muda. Tidak harus berkuasa, tapi jika mampu menciptakan pemimpin berkualitas, itu akan jauh lebih berguna, daripada berkali-kali "nyalon" tapi "gagal maning, gagal maning ".