Apapun ajangnya, termasuk di kelompok umur sekalipun, Timnas Indonesia selalu memikul harapan besar untuk berprestasi. Makanya, bukan kejutan kalau suasana ini kembali hadir, saat Timnas Indonesia bertanding di Asian Games 2022.
Memang, pada awalnya, tim asuhan Indra Sjafri ini memulai dengan lancar, berkat kemenangan 2-0 atas Kirgistan. Optimisme pun meninggi, karena kemenangan ini diraih di ajang tingkat benua.
Tapi, segera setelah melambung, Garuda Muda langsung diajak menginjak tanah, setelah tumbang 0-1 dari Taiwan di pertandingan kedua. Hasil ini terasa menyesakkan, karena dalam Kualifikasi Piala Asia U-23 belum lama ini, Indonesia menang 9-0.
Rasa sesak yang ada juga semakin perih, karena kekalahan ini datang, justru saat mereka unggul secara permainan. Apa boleh buat, tekanan untuk menang dari Korea Utara di partai terakhir pun menguat. Padahal, inilah lawan terkuat di grup, setidaknya secara kasat mata.
Untuk ukuran kompetisi seperti Asian Games, terlepas dari kekuatan tim yang tidak penuh karena tanpa pemain abroad, situasi Tim Garuda di Tiongkok bisa dibilang cukup mengkhawatirkan.
Mereka seperti bingung saat bertanding di turnamen tingkat Asia, dan tidak punya perencanaan terukur. Tim ini datang ke Asian Games dengan membawa harapan tinggi, tapi justru terbebani olehnya.
Akibatnya, Ramai Rumakiek dkk masih harus berjibaku saat seharusnya sudah bisa eksperimen taktik sambil mengistirahatkan pemain kunci di partai terakhir fase grup.
Dengan kondisi seperti ini, menaruh harapan tinggi jelas akan jadi bumerang. Apalagi, kalau tim sampai masuk kotak. Malunya akan terasa sekali, karena tersingkir di fase grup saat seharusnya bisa lolos lebih awal.
Jelas, masih kekurangan mendasar yang perlu segera dibenahi, mulai dari kedalaman kualitas skuad sampai sinkronisasi sistem permainan.
Soal kedalaman skuad, ini setidaknya terlihat dari perbedaan skor yang cukup jomplang saat melawan Taiwan. Dengan komponen tim yang berbeda sebagian saja, dan lawan yang juga mengubah komposisi pemain, ternyata membuahkan hasil kontras.
Soal sistem permainan, sinkronisasi di tiap level umur juga perlu disegerakan, supaya tim bisa semakin berkembang. Dengan sistem permainan yang sinkron, para pemain tidak perlu lagi adaptasi taktik karena perbedaan pelatih.
Jadi, tidak ada perbedaan mencolok, ketika para pemain yang biasa dilatih Shin Tae-yong ditangani pelatih lain di event tertentu. Kalaupun ada perbedaan, itu masih sesuai jalur.
Di sisi lain, perbedaan yang ada antara Shin Tae-yong dan pelatih lokal di Timnas Indonesia juga menunjukkan, seberapa jauh sepak bola nasional tertinggal di level Asia.
Di balik perkembangan yang sebenarnya sudah dicapai, masih ada keraguan untuk menatap level Asia, hanya karena masih penasaran di level Asia Tenggara. Selama keraguan ini masih ada, selama itu juga Timnas Indonesia masih akan sulit berbicara banyak di level Asia, apalagi dunia.
Bisa?