Untuk kategori ambyar itu, situasi paling parah dialami Arema FC. Seperti diketahui, Â tim dari Jawa Timur itu mencatat 5 kekalahan dan 2 hasil imbang dari 7 pertandingan.
Akibat start jeblok itu, Tim Singo Edan terbenam di dasar klasemen sementara liga, dan dua kali ditinggal pelatih. Awalnya, mereka punya duet Putu Gede dan Joko Susilo, tapi keduanya satu per satu hengkang.
Putu Gede hengkang pada pekan ketiga, sementara Joko Susilo dicopot pada pekan ketujuh. Keduanya pergi, setelah klub tak kunjung mendapat kemenangan pertama.
Kalau melihat performa dari segi hasil akhir, Arema FC memang mencatat start ambyar. Tapi, itu masih bisa dimengerti, karena kondisi klub masih agak kacau imbas Tragedi Kanjuruhan.
Seperti diketahui, Stadion Kanjuruhan rencananya akan direnovasi. Sementara itu, Stadion Gajayana yang sedianya didaftarkan sebagai kandang alternatif sedang direnovasi.
Alhasil, tim yang untuk sementara dilatih Kuncoro ini harus mengungsi ke Stadion Kapten I Wayan Dipta, Bali sepanjang putaran pertama liga.
Tentu saja, ini cukup memengaruhi performa Evan Dimas cs, karena tidak bermain di kandang sendiri cukup berpengaruh pada kepercayaan diri tim.
Seperti lazimnya klub di liga Indonesia, partai kandang biasanya membuat tim lebih kuat. Ketika harus mengungsi ke luar daerah asal, kekuatan itu biasanya luntur.
Dari sisi suporter, sebagian Aremania juga masih enggan mendukung tim, karena masih trauma dengan Tragedi Kanjuruhan yang menelan ratusan korban jiwa maupun luka-luka.
Meski sebenarnya sudah mengganti sebagian personel tim, beban berat mental karena imbas Tragedi Kanjuruhan jelas masih terasa. Ini sudah tercatat sebagai salah satu tragedi stadion terparah di dunia, dan akan selamanya membawa nama Arema FC.
Karena itulah, meski Gustavo Almeida (Brasil) rajin mencetak gol, dan Julian Schwarzer (Australia) mampu membuat sejumlah penyelamatan krusial di bawah mistar, dampaknya belum terlalu signifikan, karena kondisi tim secara umum masih jauh dari stabil.
Dengan beban mental seberat itu, Arema FC jelas tak berada dalam kondisi ideal. Dua kali ditinggal pelatih kepala juga membuat mereka akan butuh waktu lebih untuk adaptasi, sebelum membangun lagi level performa tim.
Otomatis, siapapun pelatih baru tim nanti, dia akan punya tugas ekstra. Selain memperbaiki performa tim di lapangan, ia akan dituntut untuk mampu menata kondisi tim secara umum.
Tapi, kalau manajemen klub kurang sabaran, rasanya Arema FC akan jadi tim paling sering ganti pelatih di musim 2023-2024. Kalau ini terjadi, tidak terdegradasi saja sudah bagus sekali.
Di sisi lain, situasi yang berdampak pada performa tim seharusnya bisa jadi catatan manajemen. Akan kurang etis kalau mereka masih menganggap semua baik-baik saja.
Tim ini sudah menanggung beban begitu berat, dan itu membuat performa tim jadi kacau. Dengan demikian, tidak seharusnya ada target prestasi tinggi.
Malah, Arema FC seharusnya lebih layak diapresiasi, kalau mampu menjalani musim ini sampai tuntas. Apapun hasilnya, yang penting beres.
Terdegradasi atau tidak, tim berkostum biru ini seharusnya bisa lebih menyadari, masih ada banyak hal yang perlu dibenahi, khususnya trauma pemain dan suporter.
Kalau mereka memang sebuah klub sepak bola sejati, sudah seharusnya ada keterlibatan dengan para pemain dan suporter yang masih kena mental.
Pemain dan suporter selalu setia mendampingi, sementara klub  mengalami naik-turun. Maka, sudah saatnya Arema FC  mengisi peran itu sebagai timbal balik, karena memang sudah seharusnya.
Kalau ini bisa berjalan lancar, andai Arema FC terdegradasi pun, respek tetap ada. Tapi, kalau ternyata hubungan Arema FC dan suporter masih sebatas untung-rugi, hubungan ini akan tidak awet, karena hanya bersifat transakosional.
Akibatnya, jangan kaget kalau suatu saat nanti tim akan terpuruk di berbagai sisi, karena tak punya sesuatu yang berkelanjutan.
Akankah Arema FC menemukan momentum positif?