Kalau fokus pada tujuan dasarnya, aturan yang dicetuskan Dewan Pers ini sebenarnya relevan dengan masalah yang ada. Dalam hal ini, kualitas konten di Indonesia secara umum.
Sudah terlalu banyak konten yang hanya mengutamakan jumlah klik ketimbang manfaatnya bagi pemirsa, entah pembaca, penonton, atau pendengar.
Bahkan, ada banyak konten berita yang isinya sama persis dengan platform media lain. Ada juga yang menyadur dari laman asing dengan terjemahan seadanya.
Tentu saja, para kreator konten ini tak bisa sepenuhnya disalahkan. Mereka hanya melihat peluang dari minat baca kurang tinggi di masyarakat, dan ceruk pasar audiens potensial.
Ditambah lagi, tuntutan untuk bergerak cepat dan selalu update selalu mengejar bersama "deadline" yang kadang begitu mepet. Apa boleh buat, prinsip "yang penting beres" akan lebih diutamakan. Kalau tidak, bisa kena penalti dari atasan & keluhan warganet.
Memang, faktor tingkat pendidikan dan pendapatan audiens juga berpengaruh membentuk lanskap pasar, tapi bukan berarti para audiens tidak berhak mendapat asupan konten berkualitas.
Malah, disinilah kreator konten seharusnya bertanggung jawab, untuk mengedukasi lewat konten berkualitas, supaya mereka bisa ikut andil membentuk masyarakat madani, bukan sumbu pendek.
Makanya, ketika Dewan Pers mencetuskan Perpres Jurnalisme Berkualitas, kita bisa melihat, ada dasar pertimbangan faktual yang memang perlu diambil tindakan.
Masalahnya, ketika pendekatan yang digunakan tidak tepat, kekacauanlah yang bisa jadi datang. Pada kasus Perpres Jurnalisme Berkualitas, pendekatan yang digunakan cenderung melawan "hukum alam" soal informasi di era digital.
Seperti diketahui, pada era digital, banyak hal yang menjadi bersifat lintas batas, termasuk informasi. Di era lintas batas ini, informasi bisa datang dari mana saja, disampaikan oleh siapa saja, dan kapan saja.
Sisi dinamis ini makin sempurna, karena ada algoritma yang bergerak dinamis mengikuti topik bahasan populer, selera audiens, dan situasi yang berkembang.
Makanya, platform seperti Youtube bisa membuat playlist kumpulan lagu sesuai selera pengguna. Kalau algoritma ini sampai diatur, rasanya pasti aneh, karena dipaksa menjadi seragam.
Dari sisi dinamis ini juga, pekerjaan sebagai kreator konten dan freelancer mampu menjadi alternatif pekerjaan.
Secara kuantitas, lapangan pekerjaan ini cukup mengurangi angka pengangguran, bahkan ada kreator konten yang mampu membuka lapangan pekerjaan buat krunya.
Saya sendiri cukup menikmati pekerjaan sebagai freelancer berkat sisi dinamis ini. Walaupun belum banyak mencetak rupiah, setidaknya saya tak perlu berhadapan dengan diskriminasi sistematis berbungkus syarat "sehat jasmani rohani" dan sejenisnya.
Kalau sisi dinamis ini dimatikan, informasi yang ada memang bisa diseragamkan. Tapi, ini sama dengan melangkah mundur ke sebuah era di Indonesia, sebelum ada internet.
Tidak sembarang orang bebas berkreasi, menulis opini faktual, dan aktual. Mereka yang susah payah merintis dari minus akan langsung kehilangan segalanya, seperti kena musibah bencana alam.
Kalaupun ada yang diuntungkan, itu hanya media konvensional yang sudah mapan. Mereka sudah punya lama pijakan nama, validitas dan reputasi. Tidak seperti kreator konten yang benar-benar mulai dari bawah.
Hasilnya bisa ditebak, si kaya makin kaya, sementara yang susah makin susah. Kapitalis sekali.
Apalagi, kalau pemasukannya tidak stabil. Sudah deg-degan memikirkan pemasukan, masih dihajar kebutuhan pokok yang harganya kadang naik semau gue.
Sebenarnya, kegaduhan seperti ini adalah satu pemandangan biasa di periode pemerintahan sekarang. Tapi, karena sudah terlalu sering terjadi, tidak perlu jadi seorang jenius untuk menyimpulkan, betapa kurangnya kemampuan komunikasi kebijakan publik di sebagian pejabat negara ini.
Kalau bisa tenang, kenapa harus gaduh? Tuman!
Ironisnya, komunikasi kebijakan publik yang kurang ini justru berbanding terbalik dengan kinerja oknum pejabat yang korupsi: tidak gaduh saat bergerak, tapi tiba-tiba bisa menggondol uang negara sampai triliunan rupiah.
Pejabat korupsi biasanya baru gaduh saat sudah terciduk. Itupun kalau ketahuan. Kalau belum, belok kiri jalan terus, seperti kata lampu merah di perempatan jalan.
Di sisi lain, Perpres Jurnalisme Berkualitas juga menampilkan kegagalan para pembuat kebijakan, khususnya dalam hal memahami dinamika yang berkembang di era digital.
Dengan teknologi yang terus berkembang secara dinamis, seharusnya mengedukasi masyarakat lebih didahulukan, ketimbang mengotak-atik teknologi. Semaju apapun teknologinya, kalau penggunanya tidak teredukasi dengan baik, percuma.
Mungkin, cara pandang terbalik inilah yang jadi satu alasan, mengapa negara kita masih tertinggal. Di saat negara lain sudah memikirkan potensi bahaya AI dan krisis iklim, negara kita malah berencana mundur ke era media konvensional.
Mengenaskan.