Memang, ada Manchester City yang baru saja meraih Treble Winner bersejarah dan  gelar Liga Champions pertama sepanjang sejarah klub, dengan profil tim tak main-main: mewah, bertabur bintang, dan ditangani pelatih jempolan
Tapi, dibalik sinar terang City, ada satu contoh klub kaya lain yang bernuansa suram. Tim itu adalah PSG, penguasa Ligue 1 Prancis sedekade terakhir.
Sebenarnya, klub ibukota Prancis itu punya profil mirip dengan City: didukung dana melimpah dari pemilik asal Timur Tengah, punya pemain bintang kelas dunia, Â dan mampu mendominasi liga domestik.
Tapi, berbeda dengan Manchester City, Les Parisiens cenderung lekat dengan nuansa toksik yang banyak mengganggu tim. Mulai dari perselisihan di ruang ganti, ultras yang sering menyoraki pemain tim sendiri, sampai mencuatnya masalah ego pemain bintang.
Semua masalah ini seperti jadi nama tengah PSG, dan membuat mereka kesulitan bersaing di Eropa. Meski punya pemain termahal dunia dalam diri Neymar dan pemenang Piala Dunia sekaliber Lionel Messi dan Kylian Mbappe, hasilnya sejauh ini masih sebatas "gagal maning gagal maning".
Sejak dimulainya era Nasser Al Khelaifi di Parc Des Princes, tim ini seperti tak punya kekuatan cukup kuat untuk mengontrol suasana di ruang ganti. Pada titik tertentu, mereka bahkan tak bisa berbuat banyak saat pemain bintang berulah atau punya permintaan tak biasa, seperti yang terjadi pada Kylian Mbappe.
Jelang dibukanya bursa transfer musim panas 2023, kapten Timnas Prancis itu secara tiba-tiba menyatakan enggan mengaktifkan opsi perpanjangan kontrak selama setahun di klub. Otomatis, klub akan dipaksa menjualnya, atau si pemain akan pergi secara gratis tahun depan.
Sebelumnya, situasi ini sudah pernah terjadi tahun lalu, dengan penyerang berdarah Aljazair-Kamerun ini juga sempat berencana ingin hengkang dan enggan memperpanjang kontrak di PSG. Tarik ulur sempat terjadi, bahkan sampai membuat Emmanuel Macron (Presiden Prancis) turun tangan membujuknya bertahan.
Hasilnya, top skor Piala Dunia 2022 itu lalu berubah pikiran. Untuk sementara, tawaran gaji tinggi dan peran istimewa di klub mampu membuatnya bertahan.
Tapi, ketika situasi serupa terulang di musim panas 2023, rasanya ini mulai toksik. Memang, Mbappe punya kualitas individu kelas satu dan rajin mencetak banyak gol tiap musim. Usianya juga masih muda, belum mencapai usia puncak performa.
Masalahnya, sehebat apapun eks pemain AS Monaco ini, dia tetap seorang pemain sepak bola di sebuah klub. Secara etika profesional, klub yang seharusnya  mengatur pemain, bukan sebaliknya, karena klub memang punya otoritas untuk itu.
Jadi, ketika yang terjadi justru sebaliknya, bahkan sampai terulang, kita bisa lihat seberapa toksik situasi yang ada, dan seberapa buruk kualitas kontrol internal selama ini.
Untuk kasus Mbappe tahun ini, PSG memang berencana menjual sang bomber, supaya tak pergi secara gratis. Tapi, harga minimalnya cukup besar, 180 juta euro, setara harga belinya dulu.
Harga ini sebenarnya cukup masuk akal, karena nilai manfaat teknis dan komersial Si Kura-kura Ninja jauh lebih besar.
Real Madrid muncul sebagai tujuan potensial, bahkan disebut sudah lama mengincar tanda tangan sang penyerang gesit. Selain klub raksasa Spanyol itu, ada juga Manchester United dan Chelsea yang ikut pasang kuda-kuda.
Meski begitu, situasi toksik tidak langsung mereda, karena setelah menyatakan enggan memperpanjang kontrak, Mbappe malah menyatakan ingin menghabiskan kontrak di PSG.
Tentu saja, ini membuat situasi jadi membingungkan. Diperpanjang enggan, Â dilepas pun tak mau. Kalau situasinya kembali seperti tahun lalu, bisa-bisa ini akan jadi ritual tahunan di klub Kota Mode.
Ujung-ujungnya, perpanjangan kontrak jangka pendek, dengan kenaikan gaji tinggi tiap tahun plus wewenang istimewa di klub. Sebuah modus "pemerasan" yang bisa merepotkan kalau terus dituruti.