Dari kedua negara kaya ini, Qatar sudah lebih dulu menarik bintang-bintang veteran. Sejak awal 2000-an hingga kini, liga Qatar sempat menjadi destinasi beberapa bintang veteran sebelum pensiun.
Mulai dari Gabriel Batistuta (Argentina), Frank dan Ronald De Boer (Belanda), sampai Samuel Eto'o (Kamerun) dan Xavi Hernandez (Spanyol) pernah bermain di sini.
Di dalam negeri, kedatangan para bintang ini juga menjadi titik awal pembangunan Aspire Academy yang sempat bekerjasama akademi La Masia milik Barcelona. Dari akademi inilah, kerangka tim juara Piala Asia 2019 tercipta.
Meski berdampak tak terlalu signifikan  pada awalnya, kedatangan para bintang ini menjadi pijakan awal untuk manuver selanjutnya, yakni membangun jejaring di kalangan atas, dan membuat nama Qatar familiar di telinga pecinta sepak bola dunia.
Dimulai dari akuisisi PSG yang dipimpin Nasser Al Khelaifi, negara kecil di Teluk Persia ini lalu menjadi lebih dikenal luas, dan pada puncaknya mampu menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 plus Piala Asia 2023.
Kesuksesan Qatar ini lalu coba ditiru Arab Saudi, dengan mendatangkan pemain bintang sekelas Cristiano Ronaldo, Karim Benzema dan N'Golo Kante ke Liga Saudi.
Meski tahapnya mirip seperti langkah awal  di Qatar, skala Arab Saudi jauh lebih masif. Dengan gelontoran dana sangat besar sejak awal, ada upaya untuk coba melakukan akselerasi.
Terbukti, selain menawarkan paket gaji ratusan juta euro untuk menarik para pemain bintang, pemerintah negara terluas di Asia Barat itu  juga membangun jejaring sepak bola di Eropa, dengan lebih dulu membeli klub Newcastle United (Inggris).
Jadi, berbeda dengan Qatar yang menapak prestasi level Asia sebagai pijakan awal, Arab Saudi berambisi membidik level dunia, dengan salah satunya menjadikan Liga Saudi salah satu kompetisi kelas dunia.
Maklum, untuk ukuran Asia, sepak bola Arab Saudi punya modal awal berbeda dengan Qatar, karena Timnas dan liganya sudah lama jadi salah satu yang  terbaik di Asia.
Hasilnya, cukup berhasil untuk tahap awal. Arab Saudi terpilih menjadi tuan rumah Piala Asia 2027. Sebuah batu loncatan yang cukup bagus untuk target berikutnya: menjadi tuan rumah Piala Dunia 2030 bersama Mesir dan Yunani, sekaligus menjadi satu perwujudan visi Saudi 2030 di mata dunia.
Dari Saudi dan Qatar inilah, terdapat satu benang merah yang menjelaskan kenapa mereka belakangan begitu royal berinvestasi di sepak bola, juga menjadi sponsor utama sejumlah event atau tim olahraga.
Sebagai negara yang sudah lama dikenal kaya karena minyak, dan punya citra cukup konservatif, mereka berusaha mengubahnya dengan membangun citra yang lebih terbuka sambil melepas ketergantungan besar kepada minyak (yang tidak berkelanjutan), lewat diversifikasi ekonomi.
Di sini, olahraga menjadi satu tempat yang dinilai efektif, karena relatif diterima secara universal. Dari olahraga, barulah bisa merambah ke bidang lain secara perlahan. Sebuah diplomasi halus yang sejauh ini terbukti ampuh.
Mungkin, inilah satu alasan mengapa olahraga kadang rawan dipolitisasi.