Sebelum berlaku umum, kebijakan ini sudah berlaku di partai "big match" seperti Arema Vs Persebaya Surabaya dan Persija Vs Persib. Karena tingginya tensi rivalitas, tim tamu bahkan diantar-jemput naik rantis ke stadion, dan diperbolehkan untuk tidak ikut konferensi pers pascalaga.
Tapi, ketika larangan suporter tandang berlaku umum, tentu saja ada kesan "pukul rata" dari PSSI dan PT LIB. Kali ini, semua suporter diperlakukan sama, termasuk yang sebenarnya punya hubungan baik cukup lama.
Meski terkesan kurang proporsional, keputusan ini tak lepas dari pertimbangan semua pihak, dengan melihat situasi secara umum. Pertimbangan makro ini tak hanya berkaitan dengan aspek kompetisi, tapi juga berkaitan dengan aspek keamanan.
Dari aspek kompetisi, ketiadaan suporter tandang menjadi satu cara klasik untuk mencegah potensi bentrokan antarsuporter. Dalam beberapa kasus, ini sudah diterapkan di luar negeri.
Di tingkat antarnegara, larangan suporter tandang antara lain pernah terjadi di laga Serbia Vs Kroasia dalam kualifikasi Piala Dunia 2014. Rivalitas, sejarah masa lalu dan hubungan diplomatik kedua negara yang kurang akur jadi penyebab.
Di tingkat antarklub, laga Superclasico antara River Plate dan Boca Juniors juga diwarnai larangan hadir untuk suporter tandang. Larangan ini berlaku di kompetisi domestik dan tingkat benua.
Panasnya rivalitas juga menjadi faktor utama di sini, mengingat status keduanya sebagai klub tersukses dengan basis penggemar besar di Argentina, satu negara yang dikenal "gila bola".
Kembali ke dalam negeri, kebijakan Liga 1 kali ini mungkin terdengar tak biasa, tapi menjadi relevan karena Liga 1 musim 2023-2024 beriringan dengan masa kampanye dan pemilu 2024.
Berhubung tingkat kerawanan situasinya tinggi, perlu ada mitigasi sejak awal, khususnya pada kegiatan yang rawan gesekan horizontal, supaya risikonya bisa ditekan.
Berdasarkan rekam jejaknya, pertandingan sepak bola di liga Indonesia termasuk kategori rawan, dan beberapa kali meminta korban jiwa. Berangkat dari situ, kita sebenarnya bisa melihat, PSSI dan PT LIB pasti mengambil keputusan berdasarkan rekomendasi aparat keamanan.
Setelah sebelumnya liga sempat berjalan tanpa penonton imbas Tragedi Kanjuruhan, kebijakan tanpa suporter tandang bisa menjadi satu transisi, sebelum kembali ke bentuk awal.
Klub tak tekor, suporter pun bisa ke stadion dengan aman demi mendukung langsung klub favorit.
Tapi, kebijakan ini baru akan efektif, sepanjang semua pihak terkait bersinergi: panpel tidak menjual tiket melebihi kapasitas ideal stadion; aparat keamanan punya SOP yang sudah diperbaiki, dan suporter bisa tertib.
Jika sinergi antarpihak tidak padu, sepak bola Indonesia berada dalam bahaya. Erick Thohir, sang Ketum PSSI bahkan menyebut, FIFA mencermati betul sepak bola nasional, khususnya setelah Tragedi Kanjuruhan.
Lebih jauh, eks bos Inter Milan itu juga menyebut, andai terjadi kerusuhan, Indonesia bisa kena sanksi berat FIFA. Tentu saja, kita tak ingin itu terjadi.
Untuk hasil maksimal, sudah seharusnya sinergi antarpihak berjalan sebaik mungkin, karena menyangkut keselamatan bersama. Klub sendiri tidak otomatis bebas tanggung jawab, karena harus mengedukasi suporter.
Jadi, sinergi antarpihak yang sudah berjalan bisa bekerja lebih optimal, karena suporter sudah lebih tertib, seharusnya pembangunan di sepak bola nasional bisa naik level. Bukan lagi berkutat pada aspek mendasar, tapi sudah mulai menjangkau aspek level berikutnya.
Akankah?