Secara komersial, seperti halnya Piala Dunia 2022 lalu, Piala Dunia U-20 edisi 2023 juga disiarkan platform streaming Vidio. Strategi dagangnya pun sama, yakni menjual paket langganan khusus selama sebulan, atau selama turnamen berlangsung.
Pada Piala Dunia 2022, paket langganan khusus dijual dengan harga berkisar antara 49-88 ribu rupiah. Untuk Piala Dunia U-20, gaung promosinya bahkan sudah terasa sejak beberapa pekan menjelang undian fase grup.
Awalnya, ini bisa jadi satu paket menarik seperti Piala Dunia senior, karena akan diselenggarakan di Indonesia. Dengan nilai tambah kehadiran Timnas U-20 di sana, rasanya publik tidak akan keberatan kalau harga yang dipatok berada di angka serupa.
Kapan lagi Indonesia menjadi tuan rumah turnamen sepak bola tingkat dunia?
Tapi, bayangan ini langsung buyar, ketika politisasi soal kedatangan Timnas Israel U-20 berubah jadi kegaduhan yang berakibat fatal. FIFA yang tak ingin ambil risiko langsung mencopot hak tuan rumah Indonesia, dan menunjuk Argentina sebagai tuan rumah pengganti.
Akibatnya, nilai daya tarik Piala Dunia U-20, khususnya bagi penonton di Indonesia turun drastis. Terbukti, Vidio hanya mematok harga 29 ribu rupiah untuk paket khusus tayangan Piala Dunia U-20.
Dari sini saja, kita semua sudah melihat, ada kerugian besar yang muncul, setidaknya secara materi. Belum termasuk aneka kerugian lainnya.
Tak cukup sampai disitu, narasi bernada kasihan soal nasib Timnas U-20 yang batal jadi tuan rumah pun bermunculan. Mulai dari "harusnya Indonesia yang ada di sana", "andai Indonesia tak batal jadi tuan rumah" sampai ada penyebutan untuk tim-tim kontestan yang pernah bertanding dengan Garuda Muda, seperti Fiji, Selandia Baru, Guatemala, Uzzbekistan dan Irak sebagai "tim yang pernah dihadapi Indonesia".
Benar-benar miris.
Tapi, diantara sisi muram itu, ada beberapa hal yang jadi sisi positif. Pertama, publik sepak bola nasional bisa teredukasi soal bahaya politisasi. Kedua, publik sepak bola nasional bisa melihat, Piala Dunia U-20 hanya turnamen kelompok umur.
Di luar penonton negara tuan rumah, animonya jelas tidak sebanding dengan Piala Dunia senior. Seperti lazimnya turnamen kelompok umur, ini hanya bagian dari proses pembinaan pemain muda, dan arena pencarian bakat potensial, khususnya bagi klub top Eropa.
Dari sejarahnya, turnamen besutan FIFA ini memang mengorbitkan pemain hebat macam Diego Maradona, Lionel Messi, Paul Pogba dan Erling Haaland. Tapi, mereka tampil di turnamen ini sebagai bakat yang belum matang sempurna.
Levelnya jelas beda dengan Piala Dunia senior, yang memang mempertemukan pemain-pemain jadi. Boleh dibilang, Piala Dunia U-20 adalah arena bagi para calon bintang, sementara Piala Dunia adalah arena para bintang.
Sisi positif ketiga adalah, dengan adanya edukasi soal bahaya politisasi dan posisi asli Piala Dunia U-20, publik sepak bola nasional dan masyarakat Indonesia secara umum juga diajak untuk lebih rasional. Bukan hanya soal pesta politik 2024, tapi juga soal bagaimana melihat prioritas.
Soal prioritas menjadi satu garis bawah, karena pertandingan Dunia U-20 edisi 2023 rata-rata digelar mulai dini hari WIB. Waktu yang seharusnya digunakan untuk istirahat.
Jelas, orang cenderung akan memilih tak menonton, karena ini hanya turnamen kelompok umur. Toh Indonesia juga tak ikut bermain.
Lagipula, dari edisi ke edisi, level daya tarik Piala Dunia U-20 dan Piala Dunia senior tak sebanding. Daya tariknya juga tak terlalu istimewa, karena digelar tiap dua tahun sekali, bukan empat tahun sekali.
Di sisi lain, Piala Dunia U-20 di Argentina juga menjadi satu pelajaran berharga bagi pemegang hak siar, khususnya di Indonesia. Meski punya potensi dan nilai jual menarik, tingkat ketidakpastian tinggi membuat dagangan hak siar Piala Dunia U-20 di Indonesia seperti sebuah taruhan besar.
Kalau lancar untung besar, kalau tidak rugi bandar. Apesnya, rugi bandar-lah yang tampaknya didapat karena Indonesia batal jadi tuan rumah.
Terlepas dari rasa sakit yang mungkin masih ada, Piala Dunia U-20 jelas menjadi satu paket pengalaman mahal buat semua pihak yang berkepentingan.
Meski sejatinya adalah sebuah event olahraga kelompok umur, perpaduan kapitalisme dalam wujud hak siar dan paket tayangan berbayar, dan efek kerawanan politisasi menjadikannya kurang bisa dinikmati sebagaimana mestinya. Tidak ada rasionalitas karena ego sudah pegang kendali.
Karenanya, keputusan FIFA menjadikan Argentina sebagai tuan rumah menjadi satu langkah penyadaran kolektif yang tepat. Segala silang sengkarut yang ada di sepak bola nasional sudah terlalu parah, dan harus segera diperbaiki.
Jika tidak, jangankan lolos kualifikasi, lolos sebagai tuan rumah saja sulit, karena memang tak layak secara kualitas, baik sarana, teknis, mental maupun sikap.