Salah satu pemain yang akhirnya memutuskan pulang adalah Bagus Kahfi. Setelah kontraknya tak diperpanjang Asteras Tripolis (Yunani) eks pemain Timnas U-16 ini memutuskan bergabung ke Barito Putera.
Keputusan ini diambil, antara lain karena keberadaan Bagas Kaffa, saudara kembarnya, yang cukup awet bersama Laskar Antasari, sejak di akademi. Sebuah keputusan yang cukup bisa dimengerti. Apalagi, sebelum merantau ke Eropa, ia sempat memperkuat akademi Barito.
Di sepak bola nasional, khususnya level senior, keberadaan pemain kembar di satu tim bukan hal baru. Sebelum Bagas dan Bagus, ada Yance dan Yakob Sayuri di PSM Makassar.
Meski tak sempat memperkuat Timnas Indonesia junior, pemain kembar asal Papua itu belakangan cukup bersinar. Selain membawa PSM Makassar juara Liga 1, keduanya sama-sama sudah memperkuat Timnas Indonesia senior.
Bisa jadi, Bagas dan Bagus ingin coba meniru cerita sukses Sayuri bersaudara di Makassar, sekaligus mengulang masa-masa cerah di Timnas Indonesia U-16, yang sempat juara Piala AFF dan menembus perempat final Piala Asia U-16.
Dengan usia Bagas dan Bagus yang masih 21 tahun, kesempatan ini memang cukup terbuka. Sayuri bersaudara saja bisa juara liga dan masuk Timnas Indonesia di usia 25 tahun.
Tapi, untuk sampai ke sana, Bagas dan Bagus jelas masih harus berjuang ekstra. Penyebabnya, pemain kembar asal Magelang ini berada dalam situasi cukup kontras, khususnya dalam hal progres sebagai pesepakbola.
Bagas, yang awet di klub kebanggaan masyarakat Banua, pelan tapi pasti terus berkembang dan menjadi pemain reguler. Tak heran pemain berposisi bek sayap ini ikut ambil bagian saat Timnas U-22 meraih medali emas SEA Games 2023.
Pada awalnya, Bagas mungkin terlihat biasa saja, tapi perkembangan yang ada terbukti telah menghadirkan prestasi. Kalau minimal bisa konsisten, panggilan Timnas Indonesia senior tinggal tunggu waktu.
Sementara itu, Bagus, yang awalnya terlihat menjanjikan di level junior, menjalani periode cukup rumit dalam beberapa tahun terakhir.
Dimulai dari masalah cedera engkel parah saat memperkuat Garuda Select dan tarik-ulur transfer dengan manajemen Barito, rentetan masalah kebugaran ditambah aneka kesulitan di masa pandemi lalu datang, dan membatasi waktu bermainnya di Eropa.
Kalaupun ada, kebanyakan kesempatan itu datang di laga ujicoba, itupun dengan menit main terbatas. Sebelum di Asteras Tripolis, Jong FC Utrecht (Belanda) juga pernah dibelanya.
Untuk ukuran pemain Indonesia, catatan "pernah bermain di Liga Belanda dan Yunani" mungkin terlihat keren. Belum banyak pemain Indonesia bisa bergabung di klub Eropa.
Tapi, karena kesempatan bermainnya sangat terbatas, pengalaman ini jadi kurang efektif. Kalaupun ada manfaatnya, kebanyakan berasal dari sesi latihan rutin atau pola makan, itupun kalau bisa terus dibiasakan setelah pulang ke Indonesia.
Melihat situasinya, keputusan Bagus Kahfi kembali ke Barito Putera bisa dibilang menjadi satu langkah "restart" menarik, karena ini dilakukan di tempat yang sudah tidak asing, dan dilakukan dengan mencontoh cerita sukses yang belum lama hadir.
Dengan perbedaan situasi Bagas dan Bagus yang cukup kontras, mungkin keduanya tidak akan langsung bersinar dalam sekejap, tapi jika sudah klik, mungkin dua pemain kembar ini akan membantu tim asuhan Rahmad Darmawan memperbaiki prestasi di Liga 1, sekaligus meniti jalan menjadi pemain kembar kedua di tim nasional senior.
Akankah?