Politisasi soal hasil pertandingan seperti ini sebenarnya sudah lama jadi satu kebiasaan di sepak bola nasional. Jangankan jadi juara, baru masuk final saja kadang ada saja yang mengklaim bahkan langsung menghubungi tim dan disorot media.
Berhubung 2023 adalah tahun menjelang pemilu, politisasi jelas jadi satu titik rawan. Apalagi, sepak bola terbilang olahraga yang bisa jadi isu seksi.
Walau hanya digoreng sedikit saja, pasti laku keras. Dengan sedikit bumbu politisasi, suasana bisa langsung gaduh. Rasionalitas pun bisa hilang entah kemana.
Kita tentu masih ingat, seberapa panas dan gaduh suasana saat Piala Dunia U-20 akhirnya batal digelar di Indonesia. Hanya karena politisasi, turnamen yang sudah di depan mata batal digelar, dan negara rugi triliunan rupiah.
Berangkat dari pengalaman itu, hasil final SEA Games 2023 juga bisa jadi titik rawan. Apapun hasilnya, peluang politisasi cukup terbuka. Selama ada yang bisa dijadikan panggung, disitulah politisasi ada.
Andai Timnas Indonesia U-22 menang, rasanya kita akan berkesempatan melihat baliho atau spanduk ucapan selamat dari politisi atau tokoh partai, dengan pose gagah atau ukuran gambar wajah jauh lebih besar dari atlet pemenang. Ini sudah pernah terjadi saat atlet Indonesia meraih medali emas Olimpiade.
Kalau yang memberi ucapan selamat itu juga memberikan hadiah, sudah seharusnya, tapi kalau hanya jadi alat politisasi, itu memalukan.
Soal levelnya, SEA Games memang dua tingkat di bawah Olimpiade, tapi karena inj cabor sepak bola, euforianya akan tetap tinggi.
Selain karena terakhir kali meraih medali emas di SEA Games 1991, final di Kamboja juga menjadi satu titik simpang, dari ruwetnya sepak bola nasional. Kalau menang, mungkin ini bisa jadi alasan sempurna untuk menyebut semua baik-baik saja.
Kalau ternyata masih "gagal maning", biasanya ada yang dikambinghotamkan, mulai dari pelatih sampai pemerintah. Masalahnya, kalau tata kelola sepak bolanya bobrok, pelatih sekelas Carlo Ancelotti, Pep Guardiola atau Jose Mourinho sekalipun hanya akan terlihat seperti pelatih pemula.
Karenanya, daripada hanya dipolitisasi, apapun capaian Marselino Ferdinan dkk di Kamboja tetap layak diapresiasi. Mereka melakukan persiapan di saat kompetisi liga masih semrawut dan ada pergantian Ketum PSSI.
Dalam olahraga, hasil akhir, apalagi kemenangan, memang membanggakan, tapi punya sikap sportif akan jauh lebih membanggakan, karena itulah sikap yang jadi nilai utama.
Selama sikap itu bisa dibudayakan, kemenangan dan kekalahan akan bisa diterima dengan sama baik. Pemenang tidak sombong, yang kalah tidak nyinyir, apalagi sampai berbuat onar.
Bisa?