Kalau dirunut lagi, kejutan Arsenal ini adalah satu wujud transformasi mereka di era Mikel Arteta, dalam balutan jargon "percaya proses" yang awalnya sempat jadi lelucon.
Musim lalu, tim kebanggaan Gooners ini sudah kembali memanaskan persaingan di posisi empat besar, meski akhirnya disalip Tottenham Hotspur pada periode akhir kompetisi.
Ketika "proses" itu naik level musim ini, pujian banyak diterima The Gunners, karena mereka melakukan ini dengan tim yang mengandalkan banyak pemain muda dan gaya main yang cukup enak dilihat.
Kurang lebih miirip seperti era Arsene Wenger dulu, dengan "Invincible" sebagai titik puncak. Sebuah repetisi yang cukup menarik.
Tapi, seperti halnya di era Si Profesor dulu, ada satu masalah lama yang tampaknya kembali muncul, yakni masalah mental. Di era Wenger dulu, masalah ini membuat tim kerap kehilangan poin di fase krusial, dan membuat kesempatan meraih trofi hilang seketika.
Di era kekinian, masalah serupa mulai muncul, dari dua partai liga terakhir Tim Meriam London, yakni saat bersua Liverpool dan West Ham. Selain sama-sama berakhir imbang 2-2, ada situasi identik yang muncul, dengan sedikit bumbu keberuntungan dan kesialan.
Dalam dua partai tandang ini, Gabriel Jesus dkk sempat unggul 2-0 di setengah jam pertama, sebelum akhirnya kebobolan dua gol. Sebuah situasi yang sudah pasti membuat Manchester City senang.
Bedanya, pekan lalu Arsenal hampir saja tumbang saat melawan Liverpool, andai Aaron Ramsdale tak tampil bagus. Sementara itu, di partai melawan West Ham, Bukayo Saka bisa saja membawa Arsenal menang 3-2, andai tendangan penaltinya gol.
Jelas, ada masalah mental di sini, dan ini adalah kelemahan klasik tim yang diisi banyak pemain muda. Mereka cepat, dinamis dan terampil, tapi bisa langsung kacau saat tekanan berat mulai datang.
Buktinya, tim penghuni Emirates Stadium ini dua kali melepas keunggulan 2-0, dan hanya bermain sempurna selama setengah jam. Selebihnya, sangat seadanya.
Mereka seperti lupa cara menyelesaikan pertandingan dengan baik, setelah mampu memulainya dengan baik, justru pada saat paling dibutuhkan.
Kelemahan ini jadi satu kerugian besar, karena Arsenal musim ini relatif tidak banyak diganggu masalah cedera pemain dan bisa sepenuhnya fokus di Liga Inggris, setelah sebelumnya tersingkir dini di ajang Liga Europa dan Piala FA.
Situasi makin tak menguntungkan, karena di pertandingan sisa Tim London Merah akan menghadapi lawan-lawan seperti Newcastle United, Brighton, Chelsea dan Manchester City. Ditambah lagi, Manchester City masih punya tabungan satu laga tunda.
Dengan pengalaman dan standar tinggi City di bawah Pep Guardiola, ditambah performa ganas Erling Haaland, rasanya Arsenal butuh lebih dari sebatas keberuntungan untuk bisa tetap di puncak klasemen.
Mereka masih butuh waktu 1-2 tahun lagi untuk bisa bersaing intens, dengan bekal pengalaman musim ini, dan tambahan pemain berkualitas, terutama di lini depan.
Soal pemain bagus, rival bebuyutan Tottenham Hotspur ini seharusnya bisa mendapatkan banyak pilihan menarik, jika mampu lolos ke Liga Champions musim depan.
Di sisi lain, meski menunjukkan kenaikan level yang menarik, kapasitas terkini Arsenal masih sebatas "bisa bersaing, tapi rawan kehabisan bensin di fase krusial.".
Mungkin, inilah alasan mengapa analogi "gajah duduk di ranting pohon" dan "gajah memanjat pohon" banyak digunakan untuk menggambarkan kiprah Arsenal di Liga Inggris musim ini.