Itulah kata orang soal cara menjaga situasi tetap kondusif. Dengan mengalah, ego tak punya ruang untuk berulah. Api konflik pun padam bahkan sebelum sempat tersulut.
Tapi, ada kalanya semua harus dilihat lagi, karena masih ada naluri kompulsif di sana. Satu kompromi kadang mengundang banyak kompromi lain untuk datang, dengan tuntutan yang terus naik, seperti harga bensin.
Kalau apa yang kita usahakan diakui dan dihargai, mungkin semua akan terasa adil. Ada timbal balik yang membuat rasa hambar tak pernah ada.
Sekalipun kadang menyakitkan, sepanjang itu masih dianggap sedikit saja, semua masih aman terkendali. Itu idealnya, tapi di ruang yang masih mengizinkan standar ganda hidup sejahtera, kadang semua terasa menjijikkan.
Ketika seseorang memilih fokus dengan apa yang dia bisa lakukan dan dianggap remeh, itu tidak masalah. Keajaiban hadir, ketika yang dianggap remeh itu bisa menghasilkan, tapi malah tidak bisa dinikmati dan tidak dianggap.
Jujur saja, rasa sakitnya berlipat, dan semakin berlipat ketika kompromi demi kompromi datang, dan membuat rasa bersalah kepada diri sendiri terus mengetuk pintu. Dia seperti mau bilang
"Gini amat njir."
Sebenarnya kita berbagi satu rasa, karena aku pun merasa sakit. Mau marah, mau protes, tapi tubuh terlalu renta untuk melakukan itu, sekalipun dilatih keras.
Aku sudah coba melakukan beberapa adaptasi, dengan melakukan yang bisa dilakukan. Salah satunya, dengan pergi ke gereja di Minggu sore.
Meski sebagian orang melihat tindakanku ini bodoh, tidak ada lagi rasa bersalah yang datang, karena semua memang sudah siap. Berarti, ini sudah benar.
Toh, disinilah aku menemukan lagi rasa damai itu. Tidak masalah aku datang sendirian dan keluar ongkos sendiri, karena nilai hadiahnya jauh lebih mahal.
Hadiah itu adalah perasaan "seperti pulang ke rumah sebagai diri sendiri" yang masih sama, seperti bertahun-tahun sebelumnya.
Lebih baik dianggap "malas" tapi semua memang sudah siap, daripada dianggap rajin tapi serba kocar-kacir karena ingin dilihat orang. Tidak ada orang bodoh dan malas, yang siap dan sadar sepenuhnya dengan apa yang ia perbuat.
Kalau ingin melakukan sesuatu hanya karena ingin dilihat orang, apalagi sampai menyombongkan diri dengan itu, lebih baik berhenti saja. Suatu saat, apa yang dibanggakan ini hanya akan jadi sebuah kamuflase dari sebuah omong kosong.
Ada banyak orang pamer harta, tapi dari hasil tidak halal. Ada orang bicara soal Tuhan sampai berbusa-busa, tapi rajin menebar kebencian.
Well, benar kata orang, "Standar ganda is real, paten."
Masa iya mau ditiru?
Terserahlah.
Mungkin, inilah rasa sakit yang masih harus kujalani tanpa bisa kulawan. Sesuatu yang sebenarnya tidak asing karena pernah beberapa kali terjadi sebelumnya.
Andai tubuhku normal dan rasa hormat itu tidak pernah ada, mungkin aku sudah lama meledak. Seperti gunung berapi yang bangun setelah lama tertidur lelap.
Tapi, untuk saat ini, aku hanya bisa diam secara fisik dan bertahan secara mental. Pada gilirannya, semua akan dikembalikan ke tempat semula.
Mereka yang bicara dan bertingkah terlalu banyak akan dipaksa diam. Mungkin, ini terasa tak adil, karena tidak ada pengakuan secara jujur, tapi bagi sebagian orang, diam adalah sebentuk pujian, kalau tidak boleh dibilang ekspresi malu.
Namanya juga standar ganda, paten.
Dear kata-kata,
Terima kasih telah memberi tubuh renta ini ruang katarsis untuk bebas bersuara dalam diam, setidaknya sampai giliranku nanti tiba.
Aku hanya ingin tetap jadi diriku, minimal sampai akhir. Seperti melagu tanpa kata dalam puisi tanpa rima dan syair tanpa aksara. Tidak seindah setapak Sriwedari, tapi selalu bisa memberi rasa lepas yang menyenangkan, sebelum kembali ke realitas.