Kalau yang dilihat adalah frekuensi pertandingan, Timnas U-20 maupun senior sama-sama cukup banyak bertanding. Terlepas dari beragam hasil akhir yang didapat, ada satu manfaat unik, yakni masyarakat dan publik sepak bola nasional bisa sekalian belajar geografi.
Diluar Piala AFF, yang umumnya mempertemukan negara-negara Asia Tenggara, ternyata Timnas Indonesia juga bertanding dengan negara-negara dari beragam benua.
Timnas U-20 misalnya, sebelum bertanding di Piala Asia U-20, sempat beruji coba dengan Fiji, Selandia Baru, dan Guatemala. Ketiganya juga akan bertanding di Piala Dunia U-20.
Sebagai informasi, Fiji dan Selandia Baru lolos sebagai wakil zona OFC (Oseania, negara-negara di Samudera Pasifik). Guatemala lolos sebagai wakil zona CONCACAF (Amerika Utara dan Tengah) dengan mengungguli Meksiko, negara tetangga yang dikenal sebagai salah satu tim kuat di zona CONCACAF bersama Amerika Serikat.
Ketiga negara ini bukan nama familiar, khususnya bagi sebagian publik sepak bola nasional, sampai akhirnya bertemu Ronaldo Kwateh dkk di Jakarta.
Ketika bertanding di Piala Asia U-20, Garuda Muda bertemu Irak, Suriah dan Uzbekistan. Dalam turnamen yang dihelat di Uzbekistan ini, satu kemenangan dan satu hasil imbang mampu diraih.
Meski akhirnya gagal lolos ke babak perempat final, familiaritas sekali lagi bisa dibangun, lengkap dengan sedikit tambahan wawasan soal Uzbekistan, termasuk perbedaan zona waktu antara negara Asia Tengah itu dengan Indonesia.
Soal Irak dan Suriah, seharusnya sudah tidak terlalu asing, karena dua negara Timur Tengah itu cukup sering masuk berita internasional.
Di Piala Dunia U-20 nanti, peluang menambah pengetahuan geografi akan lebih besar, karena Indonesia akan kedatangan beragam tim dari seluruh dunia.
Beralih ke Timnas senior, manfaat serupa juga hadir, antara lain dalam dua periode ujicoba internasional FIFA terkini. Pertama, saat Indonesia dua kali berjumpa Curacao pada bulan September 2022, dan kedua saat Timnas Burundi akan mampir ke Indonesia, tanggal 25 dan 28 Maret 2023.
Meski awalnya terdengar asing, Timnas Indonesia berhasil (setidaknya sedikit) menambah wawasan khalayak soal dua negara itu.
Mulai dari Curacao, negara kecil di kepulauan Karibia, yang ternyata juga pernah jadi koloni Belanda, sampai Burundi, salah satu negara produsen kopi terkenal dari Afrika, yang tampil di Piala Afrika 2019.
Pengetahuan umum soal negara-negara ini mudah dicari, yang pasti, keduanya akan diingat publik sepak bola nasional, karena pernah bertanding melawan Timnas Indonesia. Apalagi kalau Indonesia menang.
Memang, akan ada banyak suara sumbang dari sebagian pihak, karena lawan yang dihadapi Marc Klok dkk terbilang antah-berantah. Tapi, mereka jadi satu realita yang pas, untuk menggambarkan level aktual sepak bola nasional.
Seperti diketahui, Indonesia masih berada di peringkat 151 FIFA, sementara Burundi (141) dan Curacao berada di posisi 150 dan 100 besar dunia. Inilah yang harus diperbaiki Timnas Indonesia, supaya tak lagi dianggap remeh.
Sebelum akhirnya menetapkan jadwal bertemu Burundi, Kenya sempat didekati, tapi negara Afrika yang terkenal sebagai satu negara kuat di olahraga lari maraton itu menolak, karena sedang berusaha menembus peringkat 100 besar dunia.
Di peringkat FIFA, negara leluhur Divock Origi (AC Milan) ini berada di posisi 101, atau tinggal sedikit lagi untuk mencapainya. Jadi, penolakan mereka cukup bisa dimengerti.
Di sisi lain, meski tidak sebergengsi turnamen besar, ujicoba internasional FIFA ini sebenarnya bisa juga membantu Timnas Indonesia, dalam undian turnamen Piala Asia atau kualifikasi Piala Dunia.
Jika mampu meraih hasil positif, posisi Timnas akan lebih diuntungkan, karena undian peserta biasa ditentukan berdasarkan peringkat FIFA terkini. Kalau posisinya lebih baik, minimal tak jadi pelanduk di antara gajah.
Karenanya, bukan kejutan kalau Erick Thohir (Ketum PSSI) menyebut, PSSI sudah ancang-ancang menyusun rencana jadwal tanding di kalender ujicoba internasional FIFA berikutnya. Ada persiapan serius, bukan mepet seperti sebelumnya.
Soal siapa lawannya, selama peringkat FIFA mereka masih lebih tinggi, seharusnya tidak masalah, karena itu bisa mengedukasi suporter, minimal dalam hal wawasan geografi.
Selebihnya, mereka (siapapun lawannya) bisa jadi tolok ukur kemajuan. Semakin tinggi peringkat aktualnya, seharusnya lawan tandingnya bisa semakin kuat. Dengan catatan, hasil positif rajin didapat.
Tapi, untuk saat ini, perjalanan ke sana masih sangat panjang. Masih ada banyak hal yang harus dibenahi, termasuk kompetisi domestik yang masih tidak berjalan normal, bahkan tak punya kompetisi usia muda.
Jadi, ini bukan saatnya memilih lawan tanding, ini masih fase menambah pengalaman tanding sebanyak mungkin.