Dari sana juga, muncul banyak sosok "motivator", dengan cerita masing-masing. Dengan penampilan meyakinkan, mereka sempat jadi bintang yang wara-wiri di televisi.
Saking larisnya, saya ingat, pernah ada satu masa dimana hampir setiap televisi nasional punya acara khusus motivator, dengan maksud menginspirasi masyarakat.
Kalau melihat tujuannya, tak ada yang salah di sini, tapi karena makin lama bentuknya makin mirip khotbah, saya merasa sudah waktunya berkata "cukup".
Bukan karena ini tidak berguna, tapi karena dimensinya terlalu sempit. Kegagalan bisa dianggap sebagai satu dosa, sementara kesuksesan hanya dianggap sebagai satu kewajaran, tidak ada yang spesial, walau sebenarnya itu diraih dengan usaha keras.
Sebagai seorang warga gereja, saya lebih memilih mendengarkan khotbah dalam ibadah di gereja, daripada hanya mendengarkan ucapan motivator dengan tarif hingga jutaan rupiah dalam satu sesi.
Pertimbangannya, khotbah selalu menghadirkan sisi reflektif, dan dari sisi legal (seharusnya) ini dijamin pemerintah.
Soal sumbangan, sifatnya sukarela, semampunya, tapi akan sepenuhnya digunakan untuk kegiatan keagamaan atau sosial. Manfaatnya jelas jauh lebih luas dari hanya membayar seorang motivator, yang kita tak tahu persis, apa dia memang benar mulai dari bawah, atau memang sudah punya previlese.
Soal previlese, pasti ada (barang sedikit) "motivator" yang punya, entah itu dari kondisi sosial, keberuntungan. koneksi atau keluarga. Kalau dia "sukses", itu wajar. Ibarat perjalanan, ia bisa sampai tujuan setelah coba-coba naik aneka ragam moda transportasi tanpa kekurangan ongkos.
Inilah bagian yang kadang dihilangkan, demi menambah daya tarik audiens, sekaligus membuat cerita mereka lebih laku dijual.
Dalam perjalanannya, ketika tren acara motivator di televisi surut, antara lain setelah seorang motivator tersangkut masalah pribadi, saya menjadi satu dari sebagian orang yang merasa lega, karena sudah ambil keputusan tepat.
Jadi, di saat para pengagum motivator itu terguncang, bahkan ada yang hilang arah, tidak ada penyesalan dari orang yang sejak awal "beda jalur" seperti saya.
Malah, kalau boleh sarkastik, kalimat "Gue bilang juga apa.", mungkin jadi hadiah paling pantas diberikan, terutama buat mereka yang sejak awal sudah fanatik buta.
Hal lain yang membuat saya miris dari pendekatan para motivator ini adalah, mereka kadang menanamkan sebuah ambisi yang justru membuat orang gelap mata.
Contoh paling umum bisa kita lihat, dari patokan umur "sukses di usia muda", atau teori "Financial Freedom" yang cukup menghipnotis pikiran.
Kalau sudah kena, bukan kejutan kalau banyak yang menghalalkan segala cara, termasuk menipu dan korupsi, hanya demi mendapat rupiah. Begitu juga kalau ada sikap tidak respek pada pekerjaan orang lain.
Di Indonesia, fenomena ini sempat kita temui dalam beberapa kasus investasi bodong, kalau tidak boleh dibilang "money game", yang memunculkan "crazy rich" gadungan penghisap isi rekening masyarakat.
Saat semua baik-baik saja, mungkin kata-kata motivator itu seperti sebuah doa yang harus diaminkan, tapi tidak saat semua sudah terbongkar.
Karenanya, saya kadang melihat satu cerita sukses, terutama yang kurang komprehensif, sebagai satu informasi "lampu kuning", tidak boleh ditelan mentah-mentah, karena bisa menyesatkan.
Sekali tersesat, bahaya. Banyak yang bisa jadi korban berikutnya, dan semakin luas juga dampak kerusakannya.
Mungkin, inilah salah satu alasan, kenapa orang sering menyebut, kewaspadaan itu penting, karena lidah tak bertulang dan pikiran rawan termanipulasi.