Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Joki Ilmiah, Sebuah Potret Budaya

16 Februari 2023   15:52 Diperbarui: 16 Februari 2023   15:58 260 4
Mencuatnya sorotan pada profesi "Joki Ilmiah",:mungkin membuat sebagian orang  merasa bingung. Kenapa fenomena semacam ini bisa hadir, bahkan di kalangan intelektual?

Kalau boleh disebut secara simpel, jawabannya adalah, "karena budayanya memang seperti itu".

Jawaban saya mungkin terdengar kurang enak, tapi jawaban ini hadir, karena saya sudah menjumpainya sejak remaja, tepatnya semasa SMA. Saat itu, saya memang sempat jadi "joki tugas" dadakan di beberapa kesempatan.

Penyebabnya secara umum ada dua. Pertama, mereka yang meminta bantuan saya memang bingung dengan tugas yang harus dikerjakan. Kedua, mereka memang tidak mau ribet, kalau tidak boleh dibilang malas.

Tapi, dua faktor ini jadi satu hal yang berkelindan dengan tekanan untuk tidak mengecewakan orang tua. Makanya, ada nyali untuk mencoba jalan pintas.

Mungkin, ini yang disebut "The Power of Kepepet".

Sebetulnya, ini terasa agak tidak adil secara kompetitif, karena tugas yang saya kerjakan dan tugas yang saya buatkan mendapat nilai di kisaran yang kurang lebih sama. Tapi, karena itu bisa membuat saya lebih banyak belajar, itu hanya terasa tidak enak di awal.

Selebihnya, menjadi joki tugas (sampai saya lulus sekolah) justru membantu saya secara finansial dan keamanan. Secara finansial, saya dapat pemasukan dari ongkos cetak dan lain-lain, yang cukup untuk belanja buku, beli pulsa atau nonton film, tanpa harus minta tambahan uang jajan ke orang tua.

Secara keamanan, menjadi joki tugas juga cukup membantu, karena dari sinilah saya justru mendapat respek dari teman-teman yang dianggap "bengal" atau semacamnya.

Uniknya, posisi sebagai "joki" juga membuat saya aman dari gangguan para jenius, karena saya jadi tidak pernah dianggap sebagai musuh atau saingan. Penyebabnya, mereka juga pernah menjadikan saya "joki tugas", saat sedang kerepotan dengan jadwal lomba.

Ini adalah satu keuntungan, karena dianggap saingan oleh para jenius bisa membuat suasana sangat toksik.

Jadi, ada semacam timbal balik di sini, karena ada satu benang merah: kami saling memanfaatkan dalam perspektif masing-masing.

Mereka bisa bersenang-senang atau fokus dengan kegiatan masing-masing, saya bisa belajar dan mengumpulkan modal untuk bersenang-senang. Cukup adil.

Bagi saya yang berkebutuhan khusus secara fisik, rasa aman ini adalah satu hal yang sangat penting. Apalagi, saya waktu itu jadi satu-satunya "makhluk asing" diantara "orang normal" di sekolah.

Walaupun kadang masih saja dapat siksaan mental berupa kena "bully" sebagian oknum, setidaknya saya masih aman sentosa dari sisi fisik. Sisi yang sekilas mustahil lolos dari masalah justru jadi paling bebas masalah.

Di sisi lain, mereka yang kadang menjadikan saya joki dadakan juga menampilkan sisi lain berupa kesetiakawanan. Dalam berbagai kesempatan, mereka jadi orang-orang yang  mau membantu saat dibutuhkan, dan punya tenaga yang sangat bisa diandalkan.

Saat seleksi masuk kuliah, permintaan jadi joki tes sempat datang lagi. Beberapa  teman saat itu merasa panik karena batas waktu pendaftaran masuk universitas dan tanggal masuk perkuliahan sudah dekat.

Tapi, berbeda dengan sebelumnya, kali ini saya berkata tidak, karena mereka saat itu sudah berhasil lulus ujian nasional SMA. Jadi, seharusnya tes masuk universitas bukan perkara berat. Terbukti, mereka akhirnya lolos tes dengan kemampuan sendiri.

Setelah lulus kuliah, dunia perjokian juga sempat saya temui, saat diminta beberapa teman menjadi tutor skripsi atau tesis mereka.

Tentu saja, saya tidak menolak, karena mereka umumnya terjebak masalah kurang lebih mirip: ada niat belajar, tapi bingung karena tidak terbiasa belajar sendiri.

Berhubung kemampuan tangan saya dalam mengetik cukup terbatas, saya hanya memberikan arahan, dan meminta mereka mempelajari, supaya paham dengan apa yang mereka kerjakan.

Berbeda dengan saat sekolah dulu, saya hanya memberi arahan seperlunya, karena  mereka punya kemampuan yang lebih memadai secara fisik, termasuk kemampuan mengetik cepat.

Meski terdengar tak biasa, pekerjaan ini menjadi satu cara saya "beradaptasi" dengan benturan syarat "sehat jasmani rohani" di berbagai kesempatan. Fisik boleh saja masih kena diskriminasi oleh sistem, tapi tidak dengan pikiran.

Mungkin, inilah salah satu buah dari sistem pendidikan yang lebih mementingkan angka dan skor akreditasi, ketimbang nilai dan pemberdayaan manusia.

Terlalu banyak orang yang diberi tekanan untuk meraih hasil maksimal, tapi tak ada arahan yang jelas, bahkan di tingkat mendasar. Dari akar rumputnya saja sudah begini, jangan kaget kalau di atasnya juga serupa.

Sistem ini seperti sebuah tim sepak bola yang dituntut menang di setiap pertandingan, tapi masih amburadul dalam hal keterampilan dasar seperti mengoper atau kerjasama tim. Tidak ada yang bisa diharapkan.

Jadi, ketika suatu saat saya bertemu lagi dengan fenomena semacam ini di dunia kerja, saya tidak kaget, karena sistem yang ada memang seperti itu.

Pada satu kesempatan, saat masih berkantor di pusat kota Jakarta, saya sempat dimintai seorang teman lama untuk membantunya mempersiapkan diri.

Waktu itu, ia sedang berusaha mencari pekerjaan di dalam kota Jakarta, dari yang sebelumnya bekerja di kota tetangga. Tentu saja, ada beragam pertimbangan di sini, termasuk jarak tempuh puluhan kilometer dari pinggiran kota, dengan tingkat kemacetan luar biasa tiap hari.

Sama seperti sebelumnya, alih-alih menjadi joki, saya membantunya mempersiapkan diri dengan arahan dan masukan seperlunya. Dari sini, saya tidak memanjakan, karena bukan saya yang menyiapkan segalanya.

Ketika akhirnya itu sukses, sekali lagi saya bersyukur, karena bisa kembali membantu teman. Setidaknya kemampuan yang saya punya tidak terus-terusan terjebak di tubuh yang salah, tapi bisa lebih bermanfaat di tubuh yang tepat.

Terlepas dari kebobrokan yang mungkin ada, fenomena perjokian, termasuk yang beberapa kali saya alami, memang ada dan nyata. Ia adalah satu hal yang ada di setiap level, dan membudaya seperti halnya korupsi.

Selama budaya itu tidak dihapus, perjokian di setiap level akan tetap langgeng, bahkan semakin canggih.

Menariknya, sebagai seorang berkebutuhan khusus, saya melihat fenomena joki ilmiah sebagai satu potret kekejaman diskriminasi fisik.

Di satu sisi, kemampuan teknis memang bisa dimiliki siapa saja, dan bisa membantu saat dibutuhkan, tapi sebagus apapun kemampuan itu, ia akan dianggap sebagai satu kesalahan, jika berada di tubuh yang salah (menurut sudut pandang diskriminatif).

Dari sini juga, saya diajak melihat, yang terlihat "bengal" atau meragukan di luar mungkin meresahkan, tapi yang terlihat biasa bahkan istimewa dari luar bisa jadi lebih berbahaya. Mereka cenderung lebih nekat, karena punya tekanan untuk tidak gagal begitu besar.

Mengerikan, tapi begitulah adanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun