Awalnya, kebiasaan ini mungkin terlihat biasa saja, dan dianggap wajar, karena menjadi satu cara paling umum untuk mempersiapkan para pemain. Maklum, tim nasional dan klub sering beda gaya, entah dalam taktik atau intensitas latihan.
Masalahnya, kewajaran itu mulai jadi satu tanda tanya besar, ketika Liga 1 mulai kedatangan pelatih asing berpengalaman dari Eropa. Berpengalaman yang saya maksud di sini adalah mereka pernah menjadi pemain, atau punya pengalaman kepelatihan di tim papan atas Eropa, dan punya lisensi kepelatihan UEFA Pro alias level tertinggi.
Kebetulan, di Liga 1 musim 2022-2023, ada tiga pelatih yang punya kriteria ini. Mereka adalah Bernardo Tavares (PSM Makassar), Luis Milla (Persib Bandung) dan Thomas Doll. Ketiganya punya rekam jejak yang cukup menarik.
Bernardo Tavares (Portugal) pernah menjadi anggota tim pelatih dan pencari bakat di tiga klub raksasa Liga Portugal. Luis Milla pernah bermain di Real Madrid dan Barcelona, plus melatih Timnas junior Spanyol. Thomas Doll pernah bermain di Lazio dan Hamburg SV, juga menjadi pendahulu Juergen Klopp di Borussia Dortmund.
Belakangan, datang juga Jan Olde Riekerink yang mulai bertugas di Dewa United sejak bulan Januari 2023. Pelatih asal Belanda ini terbilang kaya pengalaman, karena pernah melatih tim junior Ajax Amsterdam dan tim utama SC Heerenveen di Belanda, juara Piala Turki bersama Galatasaray, dan menjadi asisten pelatih FC Porto, klub raksasa Liga Portugal.
Tapi, dari keempatnya, tiga nama pertama cukup banyak disorot, karena vokal dalam mengkritik program pelatnas jangka panjang Tim Garuda. Luis Milla dan Thomas Doll bahkan kompak menahan anak didik mereka yang dipanggil ikut pelatnas Timnas U-20.
Pertimbangannya, para pemain muda seperti Kakang Rudianto (Persib) dan Muhammad Ferrari (Persija) yang dipanggil Shin Tae-yong sebenarnya justru membutuhkan latihan rutin dan jam terbang di klub.
Tujuan pelatnas sendiri memang bagus untuk jangka pendek, tapi kurang efektif untuk perkembangan karier pemain dalam jangka panjang. Sudah banyak contoh pemain muda yang sempat bersinar di tim nasional junior, bahkan digadang menjadi calon bintang, tapi layu sebelum berkembang, karena pelatnas jangka panjang lebih menitikberatkan pada sisi latihan ketimbang pengalaman bertanding secara rutin.
Sikap Milla, Doll dan Tavares juga bisa dimengerti, karena mereka tidak pernah mengalami situasi ini sebelumnya. Kalaupun ada pelatnas, durasinya tidak sampai panjang, karena ada kompetisi usia muda yang rutin digelar.
Belakangan, kritik mereka "direspon" PSSI dengan mengadakan turnamen segiempat pada tanggal 17-21 Februari 2023. Turnamen yang rencananya digelar di Jakarta ini menghadirkan Fiji, Guatemala, dan Selandia Baru, tiga tim yang akan tampil di Piala Dunia U-20.
Melihat situasinya, turnamen ini akan jadi pemanasan menuju Piala Asia U-20 di Uzbekistan, bulan Maret 2023 mendatang. Turnamen tingkat Asia ini jadi tahap persiapan berikut Garuda Muda menuju Piala Dunia U-20.
Terlepas dari pro-kontra yang muncul, program pelatnas Timnas U-20 ini secara ironis menyiratkan, ada banyak kekurangan yang perlu diperbaiki di sepak bola nasional. Salah satunya, PSSI perlu menggulirkan lagi kompetisi seperti Liga 1 U-19, yang vakum sejak masa pandemi.
Selain berfungsi sebagai "sekolah" bagi para pemain muda, adanya kompetisi yang rutin digelar juga bisa menjadi ladang pencarian bakat untuk tim nasional.
Kalau kualitas kompetisi sudah oke, tidak perlu ada lagi pelatnas jangka panjang. Pelatih pun tak perlu pusing lagi memikirkan pemain yang sudah "abroad" seperti Marselino Ferdinan (KMSK Deinze, Belgia) dan Ronaldo Kwateh (Bodrumspor AS, Turki). Mereka sudah berada di liga yang kualitasnya lebih baik.
Silang sengkarut soal pelatnas jangka panjang Timnas Indonesia sebenarnya sudah jadi fenomena lama di sepak bola nasional. Ini hanya satu dari sekian banyak masalah yang ada, dan seharusnya jadi perhatian mereka yang sedang mengejar kursi Ketum PSSI.
Dalam sebuah kompetisi, sebuah tim biasanya menetapkan target karena sudah yakin dengan kemampuan teknis. Kalau target itu ditetapkan, tapi aspek teknis dasar seperti akurasi umpan saja masih belepotan, berarti ada kekurangan dasar yang perlu diperbaiki.
Selebihnya, tinggal apakah itu bisa segera disadari atau tidak. Kalau tidak juga sadar, sulit untuk mengharapkan perbaikan itu terjadi, karena niat memulainya saja tidak ada.
Bisa?