Dari Pele, Zico, Romario, Ronaldo, Kaka sampai Neymar, semuanya terangkai sempurna dalam 5 bintang juara dunia mereka. Identitas "Jogo Bonito" mereka juga sudah berakar kuat, melalui perjalanan panjang dari masa ke masa.
Karenanya, ketika Brasil berburu pelatih dengan menyertakan kandidat pelatih asing, tentu terdengar tak biasa. Seperti diketahui, setelah berpisah dengan Tite, segera setelah tersingkir di perempatfinal Piala Dunia 2022, CBF (PSSI-nya Brasil) disebut sedang mendekati sejumlah nama kandidat pengganti.
Memang, sejumlah nama pelatih lokal seperti Fernando Diniz (Fluminense), Renato Gaucho (Gremio) hingga Rogerio Ceni (Flamengo) masuk bursa.
Tapi, ketika nama-nama pelatih asing seperti Zinedine Zidane (Prancis), Luis Enrique (Spanyol), Abel Ferreira (Portugal), hingga Jorge Sampaoli (Argentina) masuk bursa, tentu menjadi tidak biasa.
Ini belum termasuk nama-nama pelatih sekaliber Pep Guardiola, Carlo Ancelotti dan Jose Mourinho, yang juga dirumorkan masuk bursa.
Memangnya Brasil sudah kekurangan pelatih lokal berkualitas?
Sebenarnya, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ada atau tidaknya pelatih lokal. Ini berangkat dari kebutuhan untuk bisa lebih adaptif dengan tren taktik sepak bola modern, yang belakangan cenderung taktis-pragmatis dan kolektif.
Karakteristik ini, ditambah dengan makin berkembangnya "Sport Science" membuat "Jogo Bonito" yang banyak mengandalkan kemampuan individu mulai jadi titik lemah.
Meski masih rutin lolos ke Piala Dunia dan punya pemain bagus, corak taktik khas Brasil tampak sulit bersaing di fase krusial, karena kurang adaptif. Mereka seperti orang yang berangkat pesta, tapi bingung harus bagaimana, saat sudah sampai di lokasi pesta.
Ini berbeda dengan Argentina, yang corak taktiknya cenderung mengikuti tren dari masa ke masa. Mereka tidak malu bermain pragmatis, tidak ragu untuk menyerang, dan tidak bingung saat harus bermain secara kolektif.
Makanya, setelah sempat dilatih Jose Lago Millan (Spanyol, 1927-1928) dan Felipe Pascucci (Italia, 1934) di periode awal eksistensi mereka, Tim Tango selalu mengandalkan pelatih lokal, termasuk Lionel Scaloni yang meraih gelar Copa America 2021 dan Piala Dunia 2022.
Soal pelatih asing, sebenarnya ini bukan hal asing buat Timnas Brasil, karena pernah ada beberapa nama "orang asing" yang melatih Selecao, meski kebanyakan hanya bertanding di laga persahabatan.
Mereka adalah Ramon Platero (Uruguay, 1925), Joreca (Portugal, 1944) dan Filpo Nunez (Argentina, 1965). Meski beda masa, ketiganya sama-sama dipilih karena cukup berprestasi saat melatih klub-klub Liga Brasil.
Dengan rekam jejak itu, maka normal ketika CBF belakangan mulai mencoba mempekerjakan nama pelatih asing, karena meski unggul secara teknik, aspek taktik mereka sudah mulai usang.
Kalau dirunut lagi, masalah kemandekan di pos pelatih Tim Samba sebenarnya sudah ada setelah mereka berjaya di Piala Dunia 2002 bersama Luiz Felipe Scolari.
Setelah turnamen ini, mereka (kembali) mempekerjakan Carlos Alberto Parreira (2003-2006, pelatih saat juara Piala Dunia 1994) dan sekali lagi dipimpin Scolari (2012-2014) dua sosok pelatih senior.
Meski keduanya secara total memenangkan 1 Copa America dan 2 Piala Konfederasi, kegagalan di Piala Dunia 2006 dan Tragedi Mineirazo di Piala Dunia 2014 membuat periode kedua mereka berakhir muram.
Selain dua pelatih senior ini, ada juga nama Dunga (2006-2010 dan 2014-2016), yang dua kali menjadi pelatih tim nasional. Meski sukses meraih satu trofi Copa America dan Piala Konfederasi, kiprah kapten tim juara Piala Dunia 1994 ini juga berakhir muram, dengan kegagalan di Piala Dunia 2010 dan fase grup Copa America Centenario 2016.
Sebenarnya, tren negatif ini sudah coba ditanggulangi CBF, dengan tetap mempertahankan Tite meski gagal di perempatfinal Piala Dunia 2018.
Progres positif yang ditunjukkan, dan pemahamannya pada tren taktik sepak bola modern (yang sempat dipelajari sebelum mulai melatih Timnas Brasil tahun 2013) jadi pertimbangan tersendiri.
Hasilnya, Thiago Silva dkk memang superior di Kualifikasi Piala Dunia zona CONMEBOL dan juara Copa America 2019. Tapi, ketika bertanding di Piala Dunia 2022, kemandekan taktik yang ada terbukti jadi masalah.
Strategi ofensif yang diterapkan, tidak diimbangi dengan kemampuan mengontrol situasi dan kesiapan mental yang memadai. Apa boleh buat, CBF harus melakukan rencana pembaruan dengan melirik opsi pelatih asing.
Di tim nasional kelas dunia, pendekatan ini pernah diambil Inggris pada dekade awal 2000-an, kala dilatih Sven Goran Eriksson (Swedia) dan Fabio Capello (Italia). Langkah ini menjadi titik awal pembaruan di sepak bola Inggris, yang juga menghapus sisi konservatif mereka.
Alhasil, juara Piala Dunia 1966 itu berhasil mencapai semifinal Piala Dunia 2018 dan final Euro 2020. Meski belum berbuah trofi, langkah pembaruan FA ini terbukti mampu menaikkan level tim.
Inilah yang agaknya ingin coba ditiru Brasil, dan bisa jadi akan disegerakan, khususnya setelah mendapati Argentina, sang tetangga sekaligus rival bebuyutan, mampu meraih juara Piala Dunia di Qatar, dengan perpaduan taktik, teknik dan mental yang mantap bersama Scaloni, pelatih lokal yang awalnya hanya bertugas sebagai pelatih interim.
Menariknya, disadari atau tidak, apa yang terjadi di Timnas Brasil ini menunjukkan, kebanggaan berlebih pada "local pride" bisa menghasilkan sisi konservatif yang membatasi ruang untuk adaptasi apalagi pembaruan.
Sekali sisi konservatif itu dibiarkan menjadi terlalu kuat, itu bisa jadi awal kemunduran demi kemunduran.