Dengan materi pemain seperti Yassine Bounou (Sevilla), Hakim Ziyech (Chelsea) dan Achraf Hakimi (PSG), dipadu dengan efektivitas dan disiplin tinggi, tim asuhan Walid Regragui mampu melewati lawan-lawan kuat seperti Belgia, Spanyol, dan Portugal.
Mereka juga unggul jumlah poin atas Kroasia di fase grup, dan hanya kebobolan satu gol dari lima pertandingan, itupun dari gol bunuh diri. Catatan lini bertahan yang istimewa, bahkan "lebih Italia dari Italia itu sendiri".
Dari kacamata sepak bola, prestasi Tim Singa Atlas ini sudah pasti akan terukir abadi di sejarah Piala Dunia, karena menjadi tim semifinalis pertama dari Afrika.
Uniknya, ini seperti jadi sebuah repetisi (dengan peningkatan drastis) dari apa yang pernah mereka capai, saat lolos ke perdelapan final Piala Dunia 1986. Kala itu, mereka jadi tim Afrika pertama di fase gugur Piala Dunia.
Prestasi ini menjadi katalis, karena setelahnya giliran negara Afrika lain, seperti Kamerun, Nigeria, Senegal, Ghana dan Aljazair yang melakukan. Tapi, dengan prestasi uniknya, Maroko seperti menjadi "pembuka gerbang" buat tim-tim Afrika di Piala Dunia.
Mungkin, sekali lagi mungkin, mereka jugalah yang akan jadi tim Afrika pertama di final Piala Dunia.
Terlepas dari kritik atas gaya main defensif mereka, capaian bersejarah Hakim Ziyech dkk sangat layak diapresiasi, karena relatif bersih dari keputusan kontroversial wasit.
Lagipula, tim ini juga bermain cukup lugas: disiplin saat harus bertahan, dan bisa efektif saat menyerang. Simpel.
Tapi, masifnya pemberitaan soal prestasi Maroko di Qatar lama kelamaan justru jadi sesuatu yang tidak biasa. Dari sepak bola, malah jadi melebar kemana-mana.