Lebih lanjut, pria yang juga menjabat sebagai CEO klub PSIS Semarang ini bahkan merinci, akan ada uji coba venue pertandingan dengan penonton dalam jumlah terbatas.
Jika uji coba ini sukses, PSSI menargetkan, stadion sudah bisa terisi penuh pada akhir bulan November 2022.
Sekilas, ini adalah satu kabar baik bagi klub-klub Liga 1, Liga 2 dan Liga 3. Maklum, ketidakpastian yang selama ini ada jadi hilang.
Masalahnya, kebijakan ini sedikit membingungkan, karena terkesan kurang memperhatikan dinamika yang ada. Soal stadion, belum ada informasi spesifik soal kelayakan, verifikasi atau semacamnya. Soal verifikasi, apa yang sudah dilakukan PSSI selama ini juga jadi tanda tanya, terutama setelah Tragedi Kanjuruhan terjadi.
Padahal, pemerintah akan melakukan audit kelayakan stadion di seluruh Indonesia. Seharusnya, audit inilah yang perlu ditunggu, sebelum kompetisi kembali digulirkan dengan penonton hadir di stadion. Itu kalau aspek keselamatan suporter jadi prioritas.
Ditambah lagi, ada stadion yang akan direnovasi jelang Piala Dunia U-20 di Indonesia, yakni Stadion Utama Gelora Bung Karno, Stadion Gelora Sriwijaya, Stadion Manahan, Stadion Si Jalak Harupat, Stadion Gelora Bung Tomo, dan Stadion Kapten I Wayan Dipta.
Dari renovasi ini, ada empat klub Liga 1 dan dua klub Liga 2, yang terpaksa harus mengungsi. Dari Liga 1, ada Persis Solo, Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, dan Bali United. Sementara dari Liga 2, ada Sriwijaya FC dan Persikab Kabupaten Bandung.
Andai keenam klub ini harus mengungsi, tapi stadionnya tidak layak, sudah pasti akan merepotkan. Tidak mengungsi saja klub sudah repot, karena ada sejumlah jadwal laga tunda yang menanti.
Kalau prioritas terdekat PSSI adalah menggulirkan kembali kompetisi (dengan pertimbangan aspek olahraga dan profesional) seharusnya mereka merapikan dulu koordinasi dengan pihak terkait, termasuk aparat keamanan, supaya semuanya bisa lebih sinkron.
Sebelum ini, sinkronisasi antarpihak juga terbukti bermasalah, dengan Tragedi Kanjuruhan jadi contoh yang bahkan sudah mendunia. Selama sinkronisasi antarpihak ini masih belum padu, jangan adakan kompetisi, karena taruhannya terlalu mahal: nyawa manusia.
Di sini, PSSI juga perlu mematuhi rekomendasi dari aparat keamanan, khususnya terkait jam kick off pertandingan dan izin terkait. Kalau misalnya pihak aparat keamanan merekomendasikan pertandingan digelar tanpa penonton pun, rekomendasi ini harus dipatuhi.
Persetan dengan rating televisi, yang penting semuanya selamat. Tidak ada sepak bola seharga nyawa manusia.
Di sisi lain, jika benar ujicoba pertandingan dengan penonton akan tetap dilakukan, pengaturan jumlahnya harus tepat. Tidak boleh kurang atau lebih, demi keselamatan bersama.
Maka, PSSI perlu mulai mewajibkan jual beli tiket secara online, supaya perilaku tertib bisa dibudayakan. Kalau suporter bisa tertib, oknum suporter anarkis bisa dikikis perlahan.
Suka atau tidak, kita juga perlu mengakui, diluar aspek fanatisme, masalah ketertiban adalah satu pemicu paling umum aksi anarkis oknum suporter, termasuk mereka yang menyusup masuk ke lapangan hijau dan melakukan perusakan.
Selama masih ada yang tidak tertib, masalah masih akan terus datang. Jika PSSI Â hanya memikirkan untung dan mengabaikan hal-hal penting seperti ketertiban, keamanan dan kelayakan, jangan kaget kalau di masa depan sepak bola nasional (masih) dianggap sebagai salah satu ancaman gangguan keamanan masyarakat.
Sepak bola memang olahraga populer di masyarakat, tapi, selama tata kelolanya terlalu bobrok sampai mengakibatkan banyak korban jiwa maupun luka-luka, ia hanya akan mendatangkan trauma demi trauma bagi para korbannya.
Kemenangan atau poin bisa diraih di kesempatan lain, tapi nyawa yang hilang tidak bisa diganti.