Dari segi skor, kekalahan wakil Italia ini memang tidak terlalu memalukan, karena hanya kalah dengan skor identik 1-2. Tim yang membekuk mereka pun juga bukan tim sembarangan.
PSG, yang jadi lawan di matchday pembuka punya tim bertabur bintang, Â dengan dimotori trio lini depan Messi-Neymar-Mbappe yang eksplosif. Mbappe bahkan mencetak semua gol Les Parisiens ke gawang Juventus.
Benfica yang jadi lawan berikutnya adalah tim perempatfinalis musim lalu. Meski ditinggal Darwin Nunez ke Liverpool, wakil Portugal ini punya jagoan lain dalam diri David Neres (25) eks pemain Ajax yang uniknya juga sempat ditaksir Juve di bursa transfer musim panas lalu.
Bersama Joao Mario, pemain asal Brasil ini mampu mengancam dari kedua sisi sayap, dan sama-sama mencetak gol di Turin. Pada prosesnya, Arkadiusz Milik memang mampu mencetak gol cepat, yang membawa Bianconeri unggul lebih dulu.
Tapi, Benfica mampu menunjukkan kematangan mereka, dan mampu membalikkan skor. Apa boleh buat, Si Nyonya Tua harus merelakan tiga poin dibawa pulang Si Elang.
Jika berkaca pada reputasi dan ambisi besar Juventus di Eropa, dua kekalahan beruntun di dua pertandingan awal ini cukup memalukan.
Meski secara permainan mampu mengimbangi lawan, mereka tampak kebingungan. Kreativitas kering, gol minim, reaksi pun tidak tepat, baik saat kebobolan maupun unggul lebih dulu.
Meski mampu membuat lebih dari 20 tembakan dari dua pertandingan, efektivitasnya masih minimalis. Padahal, efektivitas adalah kunci buat tim yang mengandalkan strategi pragmatis.
Strategi pragmatis memang sudah jadi ciri khas tim, khususnya sejak dipegang lagi oleh Massimiliano Allegri. Masalahnya, tidak seperti periode pertamanya di Allianz Arena yang sukses besar, periode keduanya bersama klub kesayangan Juventini justru menunjukkan, strategi sang pelatih sudah usang.
Satu-satunya yang (sejauh ini) jadi penyelamat eks pelatih AC Milan itu adalah  catatan belum pernah kalah di Liga Italia, setidaknya sampai pekan keenam.
Dengan raihan 10 poin, mereka hanya berjarak 4 poin dengan posisi puncak klasemen sementara. Tapi, catatan ini pun tidak sepenuhnya bagus, karena dihiasi empat hasil imbang.
Posisi Allegri pun masih berpeluang aman, setidaknya sampai awal bulan Oktober, karena di lima pertandingan berikutnya akan menghadapi tim juru kunci Monza dan Bologna di Liga Italia, plus dua kali menghadapi tim juru kunci Maccabi Haifa di fase grup Liga Champions, yang diselingi  "grande partita" melawan AC Milan di San Siro.
Praktis, pergantian pelatih bukan sesuatu yang mendesak. Kecuali jika performa Juve di lima laga itu mendadak jeblok.
Dengan situasi yang belakangan berkembang, apa yang dialami Juventus sejauh ini mungkin sudah cukup jadi peringatan keras untuk segera berbenah.
Minimal, ada target prestasi dan rencana strategi yang jelas. Level di Liga Champions semakin tinggi, sementara Liga Italia suda mulai  kembali kompetitif.
Jika situasi ini tak cepat disadari, bukan kejutan kalau Leonardo Bonucci dkk akan masuk kotak di fase grup Liga Champions musim ini, seperti dialami Barcelona musim lalu, dan harus susah payah untuk lolos ke Liga Champions musim depan.
Akankah itu terjadi?