Pada awalnya, negosiasi berjalan sangat lancar sejak seminggu sebelumnya. Harga pun sudah langsung disepakati di kisaran angka 300 ribu rupiah, karena kondisi barangnya dinilai masih cukup baik dan lengkap oleh pembeli.
Saya sendiri menerima tawaran harga itu, karena angkanya cukup masuk akal, sesuai dengan harga wajar ponsel bekas, dengan sistem operasi Android 8 dan spek memori minimalis.
Harga ini menurut saya juga cukup bagus, untuk ukuran ponsel produk pabrikan Tiongkok tipe biasa (bukan produk kelas menengah apalagi golongan "flagship"), yang sudah 4 tahun dipakai untuk berbagai aktivitas, termasuk menulis di Kompasiana.
Tapi, situasi berbeda hadir di saat bersamaan, ketika saya coba menjual ponsel bekas lain, yang kebetulan sudah dalam kondisi mati total, karena lama tidak terpakai, dan minus pengisi daya. Awalnya, saya masih yakin ini laku barang 20 ribu rupiah.
Maklum, ponsel yang satu ini adalah ponsel jenis Nokia 2700, yang masih merupakan ponsel generasi senior. Beberapa tahun sebelumnya, saya juga pernah dua kali menjual ponsel bekas jenis Nokia milik saya, dengan harga di kisaran 100-200 ribu rupiah, dengan perangkat yang masih lengkap.
Ketika itu keduanya dijual dalam kondisi berbeda. Yang satu mati total karena baterainya bermasalah, sementara yang lain dijual karena saya mendapat ponsel Android bekas. Untuk ponsel yang mati total, harganya masih cukup baik karena setelah coba dinyalakan dengan baterai pengganti, kondisinya baik-baik saja.
Dalam kondisi yang juga mati total, nasib serupa juga terjadi pada ponsel Android pertama saya, yang laku dijual 100 ribu rupiah. Kondisinya bahkan sedikit lebih gawat, karena sudah beberapa kali ganti baterai.
Tapi, keberuntungan serupa ternyata tidak terjadi sampai empat kali. Akibat kondisinya yang sudah mati total, bahkan setelah dicoba dengan baterai pengganti, Nokia 2700 itu akhirnya tidak laku dijual.
Tentu saja, ini menjadi pengalaman kurang mengenakkan, tapi, pada saat bersamaan, saya bersyukur karena ponsel Xiaomi Redmi 5A saya terjual dengan harga dan kondisi layak. Berarti, keputusan saya untuk ganti ponsel terbukti tepat.
 Di sisi lain, pengalaman ini juga menunjukkan, tak perlu menunggu sampai ponsel lama mati total untuk berganti ke yang baru. Karena, menjual ponsel lama yang sudah mati total itu jauh lebih sulit daripada menjual ponsel lama yang masih sehat.
Dengan cepatnya perkembangan teknologi, termasuk teknologi berbasis aplikasi di ponsel, siklus masa edar produk menjadi relatif pendek, dengan rentang waktu paling lama antara 4-6 tahun. Dalam periode ini, ponsel lama kita masih bisa dijual dengan harga residu, yakni harga jual awal dikurangi depresiasi nilai barang, dalam rentang waktu 4-6 tahun.
Di luar periode ini, harga jualnya bisa jauh lebih rendah. Malah, pada titik tertentu, bisa laku terjual saja sudah bagus sekali. Karena, teknologinya memang sudah tidak kompatibel, dengan versi aplikasi yang terus berkembang.
Jelas, dengan sifat pembaruan yang cenderung cepat, ponsel tidak bisa diperlakukan seperti barang antik, kecuali jika ingin dimuseumkan.
Alhasil, di samping berusaha menjaga kondisi dan kinerja ponsel sebaik mungkin, kita juga perlu memperhatikan, apakah kompatibilitas ponsel kita masih relevan atau tidak. Dengan demikian, kita tidak sampai keteteran saat harus beradaptasi, dan ponsel lama kita bisa tetap bermanfaat  saat berpindah tangan.