Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Parpol, Kualitas atau Kuantitas?

30 Juli 2022   12:25 Diperbarui: 30 Juli 2022   12:29 256 6
Judul di atas adalah pertanyaan yang terpikir di kepala saya, saat bicara soal parpol, dalam posisi mereka sebagai peserta pemilu. Pertanyaan ini muncul, karena pandangan ideal soal parpol di Indonesia masih sering tidak sinkron dengan situasi aktual di lapangan.

Idealnya, jumlah parpol peserta pemilu seharusnya tidak terlalu banyak. Jumlahnya kurang dari 10, seperti di negara-negara yang demokrasinya sudah lebih matang.

Mungkin, perkara jumlah ini akan diprotes pihak yang ngebet ingin punya parpol sendiri. Tapi, perkara kualitas ini jauh lebih penting daripada jumlah peserta pemilu, karena ada tanggung jawab besar dari partai dan politisi untuk mengedukasi masyarakat, sehingga kualitas demokrasi yang ada bisa semakin baik.

Jika kualitas dikedepankan, parpol sudah pasti punya kaderisasi berkualitas. Hasilnya, figur yang ada bisa berkinerja baik, rakyat pun mengenalnya secara luas, tanpa harus pasang baliho dimana-mana, seperti iklan rokok.

Dari sini, parpol mampu menghadirkan wakil rakyat berkualitas, dan selaras dengan ideologi negara, yang kalau dalam konteks Indonesia adalah Pancasila.

Jadi, jika ada parpol yang cara pandangnya tidak selaras, bahkan berafiliasi dengan organisasi berideologi "terlarang", ideologi negara sudah bisa jadi filter seleksi awal. Karena sifatnya yang tidak bisa diganggu gugat, seharusnya semua pihak yang terlibat bisa satu suara, sepakat.

Masalahnya, pandangan ideal ini masih belum sinkron dengan situasi demokrasi di Indonesia. Situasi ini muncul, karena usia kebebasan berdemokrasi yang masih relatif muda, karena baru dimulai dari tahun 1998.

Di sini, negara kita masih dalam tahap "belajar", karena belum benar-benar punya aturan tegas soal parpol. Asal cukup modal dan sesuai syarat administrasi, semua bisa diatur. Sebuah mentalitas yang pada akhirnya jadi kebiasaan umum dalam perekrutan  calon wakil rakyat.

Kualitas? Itu hanya utopia.

Hasilnya, kita melihat sendiri, semarak pemilu di Indonesia bagaikan Piala Dunia, turnamen sepak bola dunia yang memang melibatkan puluhan negara dari seluruh dunia. Sebagai informasi, sudah ada 42 parpol yang terdaftar sebagai calon peserta Pemilu 2024. Jumlah ini lebih banyak dari peserta Piala Dunia 2022 di Qatar (32 negara).

Otomatis, ada puluhan parpol yang jadi kontestan pemilu, dan ada ratusan sampai ribuan nama yang harus dipilih.
Dari sekian banyak nama itu, hanya sedikit yang familiar di telinga masyarakat, dan jauh lebih sedikit lagi yang terbukti berkinerja baik.

Inilah yang membuat tingkat efektivitas kinerja wakil rakyat relatif rendah. Suka atau tidak, harus diakui ini adalah satu bukti kalau kuantitas masih jauh di depan kualitas.

Meski setiap tingkat pemerintahan, dari pusat sampai daerah, punya wakil rakyat masing-masing, produktivitas mereka dalam menghasilkan kebijakan atau undang-undang pro-rakyat masih kalah jauh dengan jumlah kasus korupsi, kebijakan yang membebani rakyat, dan hobi tidur atau absen saat sidang.

Di sisi lain, masih berjubelnya jumlah parpol peserta pemilu juga menjadi satu potret tumpang tindih berbagai  kepentingan yang ada, termasuk mereka yang menjadikan parpol sebagai mesin uang.

Makanya, kita banyak melihat, petinggi parpol nyaris tidak ada yang hidup prihatin. Lucunya, semua kepentingan itu bisa dibungkus rapi dalam bungkus luar "kepentingan rakyat".

Kalau memang kepentingan rakyat jadi alasan utama, seharusnya kualitas-lah yang terus ditingkatkan, bukan kuantitas. Masalahnya, belum banyak yang mampu berpikir ke sana.

Malah, banyak orang yang cenderung "bodo amat" dengan parpol dan segala isinya, karena terlalu banyak kebobrokan di sana. Inilah yang lalu dimanfaatkan politisi oportunis, untuk coba melanggengkan nama dan pengaruhnya.

Jadi, wajar kalau di Indonesia ada fenomena "politik dinasti", yang antara lain tumbuh di tingkat daerah, khususnya sejak diberlakukannya otonomi daerah. Celakanya, jumlah dinasti politik yang relatif bersih masih kalah jauh dengan yang bermasalah.

Berangkat dari sinilah, semua permasalahan politik yang kita lihat selama ini ada. Ini memang satu bagian dari proses berdemokrasi yang usianya masih relatif muda di Indonesia.

Tapi, selama kepentingan kelompok atau golongan masih lebih diutamakan ketimbang kepentingan rakyat, selama itu juga kuantitas dalam demokrasi masih jauh lebih unggul dari kualitas.

Sebenarnya, rakyat tidak butuh banyak parpol, karena akan semakin membingungkan. Demokrasi seharusnya bukan ajang pembodohan publik.

Rakyat hanya butuh figur wakil rakyat berkualitas. Semakin banyak figur wakil rakyat berkualitas, dampaknya akan jauh lebih baik daripada kehadiran seratus parpol baru yang hanya menjual jargon dan mimpi indah, tapi bobrok kualitasnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun