Salah satu upaya yang dilakukan adalah mendorong investasi hijau. Apa itu investasi hijau?
Secara umum, investasi hijau didefinisikan sebagai konsep investasi dengan fokus utama pada pelaku usaha yang mendukung atau menyediakan produk ramah lingkungan.
Sebenarnya, dalam beberapa tahun terakhir, investasi hijau memang mulai muncul sebagai satu tren. Seiring masifnya kampanye menggunakan produk nonplastik alias ramah lingkungan, perusahaan-perusahaan, termasuk usaha rintisan di bidang ini pun bermunculan.
Meski belakangan lumayan terpuruk akibat imbas pandemi, sektor ini rupanya masih cukup potensial. Makanya, dalam masa Presidensi G20, pemerintah menjadikan investasi hijau sebagai satu isu pokok bahasan.
Secara global, isu ini memang relevan, khususnya di tengah ancaman perubahan iklim global. Tapi, ada juga manfaat lain yang bisa disinkronkan.
Dari segi nilai ekonomi misalnya, ada potensi perputaran uang cukup besar. Bonusnya, sektor ini bisa ikut membantu upaya pelestarian lingkungan. Jadi, ada keberlanjutan yang bisa bermanfaat secara luas.
Tapi, sebagai orang yang pernah bekerja di sektor usaha berbasis investasi hijau, saya mendapati, sebenarnya ada satu hal yang masih jadi titik lemah di Indonesia, khususnya pada produk ramah lingkungan. Titik lemah itu adalah harga yang masih belum sepenuhnya terjangkau.
Dalam beberapa kesempatan, keluhan "mahal" atau sejenisnya sempat saya temui saat ada pameran. Bukan hanya di Jakarta, tapi juga di daerah. Begitu juga saat berinteraksi secara online.
Alhasil, calon konsumen yang pada awalnya cukup tertarik langsung mundur teratur. Meski diklaim punya manfaat positif buat kelestarian Bumi, harga produk-produk ramah lingkungan ternyata masih kurang membumi.
Sebagai contoh, di saat harga per pack (isi 100 pcs) sedotan plastik ada yang mencapai kisaran angka di bawah lima ribu rupiah, harga per pack sedotan ramah lingkungan justru berada di kisaran angka puluhan ribu sampai ratusan ribu rupiah.
Perbedaannya jomplang sekali. Itu baru sedotan, belum termasuk produk-produk kebutuhan sehari-hari  lainnya seperti sendok, garpu, sabun mandi dan kawan-kawan.
Kalau sasaran pasarnya kelas atas, mungkin tidak masalah. Dengan catatan kualitasnya benar-benar bagus, sesuai harga, dan punya unsur estetik.
Masalahnya, pasar yang cukup dominan di Indonesia adalah kelas menengah dan bawah. Dalam kondisi normal saja, mereka sudah sensitif terhadap harga, apalagi setelah pandemi menyerang.
Para produsen produk ramah lingkungan boleh saja berdalih, ini adalah harga yang sepadan dengan kualitas dan manfaat jangka panjang. Tapi, di balik dalih itu, ada juga biaya produksi dan sertifikasi produk yang mahal.
Lagi-lagi, muaranya cuan. Maklum, namanya juga bisnis, bukan sedekah.
Selain karena masalah harga, familiaritas produk dan skala produksi juga jadi masalah. Banyak konsumen yang awalnya tertarik, tapi langsung bingung saat melihat nama produknya yang kurang familiar, karena umumnya memakai bahasa Inggris, tapi dengan tata bahasa yang kadang semau gue.
Sudah nama produknya tidak familiar, harganya pun sangat mahal dibandingkan produk sejenis dengan fungsi sama. Habislah sudah.
Masalah ini sebenarnya sudah coba diakali pelaku usaha produk ramah lingkungan, antara lain dengan gencar wara-wiri di media, entah nasional ataupun internasional. Hasilnya, orang hanya melihat ini adalah produk yang pernah diliput media.
Akibatnya, identitas produk yang coba dibangun jadi tidak solid. Jangankan menjadi pembeli setia, kenal pun tidak.
Tidak solidnya identitas produk yang dibangun, dan harganya yang di luar jangkauan kebanyakan orang, membuat permintaan pasar akan produk ini jadi rendah. Akibatnya, skala produksi stagnan, sulit membesar, apalagi menjadi skala produksi massal.
Akibatnya, saat daya beli masyarakat turun, produk ramah lingkungan langsung kena pukulan berat. Banyak perusahaan yang kemudian beralih mengimpor produk serupa dari luar negeri (terutama negara-negara yang punya industri berskala produksi massal) dan mengemas ulang produk.
Pertimbangannya simpel, biaya produksi lebih murah, dan bisa lebih cepat mendapat pasokan barang dalam jumlah besar.
Untuk jangka pendek, ini bisa jadi langkah darurat efektif, tapi berbahaya untuk jangka panjang. Tidak ada keberlanjutan, seperti apa yang ingin diwujudkan lewat produk mereka.
Akibatnya, produsen dari dalam negeri bisa gulung tikar, padahal mereka adalah satu industri padat karya, yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Maka, seiring adanya perhatian pada sektor ini, salah satunya melalui investasi hijau, pemerintah dan seluruh pihak terkait perlu mulai membumikan produk ramah lingkungan.
Kuncinya, ada upaya nyata untuk membangun kolaborasi antara perusahaan dengan produsen. Semakin padu, semakin bagus, karena manfaat ekonomi dan sosialnya akan melengkapi manfaat untuk lingkungan yang ingin coba dimaksimalkan.
Soal harga yang kurang kompetitif, masalah ini bisa diakali, dengan mendorong tumbuhnya skala produksi massal. Nantinya, para produsen ini bisa digandeng sebagai pemasok bahan mentah atau setengah jadi.
Semakin besar skala produksinya, semakin banyak tenaga kerja yang terserap. Ini akan membuat pemulihan ekonomi nasional bisa berjalan lancar.
Kalau harganya sudah terjangkau, masyarakat pasti tidak akan ragu untuk membeli. Keterjangkauan harga ini menjadi penting, karena masyarakat cenderung semakin selektif dalam berbelanja. Ini belum termasuk para pelaku UMKM seperti pengusaha warteg, warung makan dan sebangsanya.
Sekalipun iming-imingnya bisa untuk membantu menyelamatkan bumi seperti yang biasa dilakukan para superhero, percuma kalau harganya tidak membumi, dan justru membuat dompet menangis histeris.
Soal familiaritas produk, pemerintah dan pihak terkait bisa juga membangun identitas khas. Misalnya "karya anak bangsa" atau memanfaatkan momentum event G20 di Indonesia.
Di sini, Bank Indonesia selaku bank sentral juga bisa memberi dukungan, misalnya dengan memberikan dukungan kerjasama atau edukasi.
Supaya lebih sempurna, pemerintah dan pihak terkait juga perlu mendukung dari segi sertifikasi produk, supaya harga produk bisa lebih ramah di kantong.
Selain itu, penggunaan produk ramah lingkungan di masyarakat perlu lebih konsisten dibudayakan. Bentuknya bukan lagi himbauan, tapi lebih bersifat edukatif, tanpa melupakan sikap tegas, supaya terbangun satu kesadaran.
Jadi, ada kesadaran bersama yang bisa ditindaklanjuti dengan tindakan. Jika harganya sesuai dengan daya beli masyarakat, produk ini pasti tidak akan kekurangan pembeli, dan bisa memberi dampak positif sangat luas, karena mampu membantu program pemulihan ekonomi nasional sambil menjaga kelestarian lingkungan.
Bisa?