Tak cukup sampai disitu, media sosial juga menjadi satu tempat yang sangat riuh, khususnya di Indonesia. Maklum, sebagian warganet kita punya respon secepat kilat dalam berkomentar.
Dampaknya pun bukan kaleng-kaleng, karena bisa mengubah secara masif. Makanya, media sosial belakangan jadi satu tempat untuk mengadu, karena dampak positif "the power of netizen" kadang bisa membuat Superman sekalipun merasa minder.
Lebih lanjut, celotehan khas warganet kita kadang "out of the box", dan bisa menghibur, layaknya komedian handal. Sebuah paduan unik dari kekuatan kolektif terbesar di dunia maya kita.
Masalahnya, kekuatan kolektif ini kadang digunakan secara berlebihan. Alhasil, media sosial menjadi satu tempat yang horor, karena risakan dan cancel culture alias boikot massal tumbuh subur.
Apa boleh buat, kekuatan "Hero" milik warganet pun pada titik ini berubah jadi satu medium perusak. Alhasil, banyak yang memilih jeda sementara dari media sosial, sekalipun salah satu sumber nafkahnya berasal dari sana.
Mereka hadir dari berbagai latar belakang. Mulai dari pesohor seperti Deddy Corbuzier, sampai orang biasa.
Di sini, para warganet yang punya "the power of netizen" justru lebih mirip seperti oknum pejabat, yang punya kharisma dan dipercaya banyak orang, tapi malah korupsi.Â