Berawal dari saran Shin Tae-yong, sebagai responnya atas kritik sebagian warganet, suara soal perlunya punya kamp latihan khusus untuk Timnas Indonesia terus bergaung, dengan PSSI sebagai pihak yang diminta ambil tindakan.
Suara itu belakangan jadi relevan, saat Tim Garuda sempat batal latihan, akibat belum sewa lapangan. Alhasil, Shin Tae-yong pun mengkritik PSSI, sementara PSSI enggan disalahkan.
Dari sini saja, kita bisa melihat, seberapa rumit masalah yang ada. Di aspek mendasar seperti tempat latihan saja, masalah sudah jadi penghalang
Wacana soal tempat latihan mandiri ini sudah bergulir sejak lama. Bahkan, lokasinya pun sudah disebut-sebut, yakni di daerah Sawangan, Depok, di lahan milik Bakrie Group, yang sebelumnya sempat dipakai klub Pelita Jaya.
Tapi, wacana ini sering menguap begitu saja. Terlupakan, sebelum akhirnya terangkat lagi saat masalah saat ini terkuak di media.
Sebenarnya, ada fasilitas mirip kamp pelatihan pemain di Indonesia, yang sudah lama eksis dan mampu menghasilkan pesepakbola berkualitas. Jumlahnya pun bukan hanya satu, tapi dua, yakni Diklat Salatiga (Jawa Tengah) dan Sekolah Khusus Olahraga (SKO) Ragunan, Jakarta.
Diklat Salatiga yang diresmikan pada tahun 1973 pernah mengorbitkan pemain sekelas Kurniawan Dwi Yulianto dan Bambang Pamungkas. Karenanya, Diklat Salatiga sempat populer di kalangan pecinta sepak bola nasional.
Tapi, sejak dilebur dengan PPLP Jawa Tengah pada tahun 2008 silam, gaung nama akademi yang sempat tersohor ini jadi meredup akibat penurunan kualitas.
Sementara itu, nama SKO Ragunan (yang memang merupakan sekolah olahraga multicabang) belakangan familiar, karena punya alumni pemain Timnas Indonesia era terkini, yang main di Eropa. Mereka adalah Egy Maulana Vikri dan Witan Sulaeman.
Sebelum dua pemain kidal ini, ada beberapa alumni SKO Ragunan yang jadi atlet terkenal, antara lain Icuk Sugiarto dan Lius Pongoh (Bulutangkis) dan petenis Yayuk Basuki.
Dari rekam jejaknya, kedua sekolah khusus ini bisa digandeng, dan potensi yang ada bisa lebih dimaksimalkan. Itu kalau PSSI tidak hanya menunggangi ekspektasi tinggi publik sepak bola nasional.
Dengan kurikulum yang sudah ada di sana, PSSI praktis hanya tinggal mengintegrasikan dan mengoptimalkan sistem pendukung pembinaan usia muda, khusus untuk mereka yang ingin jadi pesepakbola.
Soal kamp latihan khusus, seharusnya PSSI tinggal mengupayakan satu lokasi spesifik, dengan fasilitas pendukung standar internasional yang diperlukan. Jadi, insiden Timnas Indonesia batal latihan karena belum sewa lapangan tak akan terjadi di masa depan.
Fungsinya kurang lebih seperti kampus KNVB di Zeist milik Timnas Belanda, atau akademi Clairefontaine milik FFF (PSSI-nya Prancis) yang sudah terbukti kualitasnya, dan biasa menjadi lokasi latihan De Oranje dan Les Bleus.
Jadi, bukan kejutan kalau Belanda dan Prancis selalu punya tim kompetitif. Karena, sistem yang sudah ada di federasi sudah terbangun dengan baik, dan ditiru sampai ke level klub.
Masalahnya, karena petinggi PSSI belum juga mau berorientasi jangka panjang, sepertinya, punya kamp latihan sendiri masih sulit. Jangankan punya kamp latihan sendiri, kantor PSSI saja masih numpang di kompleks Gelora Bung Karno.