Tentu saja, ini akan jadi kejutan lain buat Romanisti, karena datang tanpa disangka-sangka. Sama seperti saat nama eks pelatih Benfica itu diumumkan sebagai nahkoda baru Giallorossi tahun lalu.
Klub ibukota Italia itu menjadi juara di kota Tirana, Albania, Kamis (26/5, dinihari WIB), setelah gol tunggal Nicolo Zainolo tak mampu dibalas Feyenoord, lawan mereka di partai final. Capaian ini membuatnya jadi pelatih pertama yang meraih trofi di tiga kasta berbeda dalam kompetisi antarklub Eropa.
Dari sini, apresiasi terhadap Mourinho pun bermunculan. Ada yang menyebutnya sebagai "serial winner", penakluk final, dan entah apa lagi. Maklum, sebelum Mou datang, Si Serigala sempat kesulitan meraih trofi juara.
Satu hal yang pasti, Mou berhasil membuktikan kehebatannya, setelah musim lalu dibuat penasaran. Maklum, meski berhasil membawa Tottenham Hotspur lolos ke final Carabao Cup, ia dipecat hanya sehari menjelang laga final dimulai.
Di sisi lain, kemenangan The Special One di UECL juga menunjukkan bagaimana "seni meraih trofi juara" versinya.
Seperti diketahui, sejak mencuat bersama FC Porto, eks penerjemah Sir Bobby Robson ini memang hampir selalu berhasil menaklukkan partai final.
Entah kompetisi domestik atau Eropa, setiap kali dia tampil di final, kemenangan hampir selalu didapat. Kecuali, dalam episode anehnya bersama Spurs dan musim terakhirnya di Real Madrid, saat timnya kalah dari Atletico Madrid di final Copa Del Rey musim 2012/2013.
Di luar itu, selalu ada trofi yang datang. Kisahnya tidak hanya terjadi di tim kuat seperti FC Porto, Inter Milan atau Chelsea, tapi di tim Real Madrid kala tiki-taka Barcelona sedang merajalela, atau Manchester United yang masih gemar menghibur fans lawan.
Selebihnya, kemenangan demi kemenangan datang, sebagai hasil dari apa yang sudah dibangun sejak awal musim, termasuk keleluasaan dalam berbelanja pemain baru.
Di Trigoria, hal ini didapatnya, setelah nama-nama seperti Tammy Abraham, Rui Patricio dan Chris Smalling datang. Tiga transfer ini belakangan terbukti sukses, dengan dua nama terakhir mampu tampil baik di lini pertahanan, sementara nama pertama rajin mencetak gol.
Dari segi gaya main, kebanyakan orang memang sudah kadung mengaitkannya dengan strategi "parkir bus" yang terlihat sedikit membosankan.
Tapi, pelatih asal Portugal itu mampu konsisten, dan memaksimalkan kemampuan para pemainnya. Kalaupun harus berbelanja pemain, pemain itu harus sesuai dengan sistemnya dan kebutuhan tim.
Berbeda dengan Pep Guardiola yang dikenal suka bereksperimen taktik, Mourinho tidak pernah melakukan itu, khususnya di fase-fase menentukan.
Penyebabnya, babak lanjut kompetisi adalah tempat dimana hasil akhir jadi penentu nasib, hidup atau mati. Makanya, bermain pragmatis dan menang adalah koentji.
Jika mampu melaju lebih jauh, pengalaman di babak sebelumnya akan jadi modal penting, karena bisa membuat tim semakin terbiasa dengan sistem permainan ala Mourinho.
Alhasil, saat di partai final, tim asuhan eks asisten Louis Van Gaal ini sudah "khatam" dengan taktik sang pelatih, dan bisa meraih kemenangan, karena sudah menyatu sebagai sebuah tim.
Meski belakangan dicap usang, pendekatan ini terbukti masih efektif, karena membuat para pemain tahu apa yang harus dilakukan, dan menjadi titik fokus.