Dalam beberapa hari terakhir pascalaga, akun media sosial Instagram milik pemain berusia 20 tahun itu jadi sasaran empuk segelintir warganet suporter Timnas Indonesia. Penyebabnya, ia dianggap jadi provokator yang memicu kericuhan di akhir pertandingan, tapi lolos dari sanksi kartu merah wasit.
Awalnya, pemain blasteran Thailand-Denmark ini hanya kebanjiran komentar di setiap unggahannya. Tapi, tindakan warganet suporter Indonesia ini belakangan justru semakin ekstrem, karena ada yang melakukan "report" massal" ke Instagram.
Apa boleh buat, akun Instagram pemain nomor punggung 4 itu pun menghilang. Sekalipun sudah beberapa kali membuat akun baru dan meminta maaf kepada suporter Indonesia, nasibnya tetap sama.
Memang, pemain klub Odense BK (Denmark) ini bermain agak "nakal" di pertandingan melawan Indonesia. Beberapa kali ia mengukur waktu atau berargumentasi dengan wasit, dan memanaskan situasi.
Tapi, apa yang dilakukan warganet suporter Indonesia kali ini sudah keterlaluan, karena masalah yang seharusnya cukup selesai di lapangan hijau, justru merembet di media sosial, bahkan sampai beberapa hari setelah pertandingan selesai.
Apesnya, nasib serupa juga dialami Yahya Ali Al Mulla, wasit yang bertugas di pertandingan itu. Meski sempat menulis permohonan maaf kepada suporter Indonesia di bio profil, dan mem-private akun instagramnya, akun Instagram wasit asal Uni Emirat Arab ini juga hilang, karena tak luput dari sasaran report massal.
Mungkin, masih ada yang tidak terima dengan cara Tim Garuda kalah dari Tim Gajah Perang, meski sebenarnya mampu memberikan perlawanan sengit. Tapi, Timnas Indonesia pasti tak akan sampai mendapat hat-trick kartu merah dari wasit, andai tak termakan provokasi pemain lawan.
Di sisi lain, atas nama nasionalisme banal, sebagian warganet suporter Indonesia memilih "bersilaturahmi" ke akun Instagram Jonathan Khemdee dan sang wasit, karena menganggapnya sebagai biang kerok kekalahan. Tapi, merundung sampai akhirnya menghilangkan akun media sosial jelas keterlaluan.
Memangnya, apa yang didapat dari tindakan itu? Kalah iya, malu juga iya. Kecuali kalau urat malunya memang sudah tidak ada.
Di negara yang fanatisme dan prestasi sepak bolanya lebih seimbang saja, tindakan suporter di media sosial tidak sampai begini.
Kalaupun ada yang ekstrem, itu hanya berupa pesan. Selebihnya, tindakan langsung.
Di negara maju, itu biasa ditindaklanjuti oleh pihak berwajib, jika pesan itu berisi teror yang mengancam keselamatan, misalnya pesan ancaman pembunuhan atau bom. Maklum, ini termasuk perbuatan melanggar hukum.
Jika yang berada dalam posisi Jonathan Khemdee adalah pemain Timnas Indonesia, saya yakin, dia akan dibela habis-habisan. Sama seperti aksi Abduh Lestaluhu di final Piala AFF 2016, yang kesal akibat taktik "buang waktu" kubu Thailand, saat dirinya akan melakukan lemparan ke dalam.
Berbeda dengan Khemdee, Abduh kala itu dipuji-puji oleh warganet Indonesia, sementara warganet Thailand memilih tidak mereport akun media sosial sang pemain, karena toh Timnas mereka juara Piala AFF.
Nasib apes yang dialami Khemdee ini, mungkin jadi satu hal menyenangkan buat warganet suporter Indonesia yang ikut ambil bagian. Tapi, jika diteruskan, ini akan jadi satu kebiasaan buruk.
Andai suatu saat ada nanti pemain Timnas Indonesia yang situasinya seperti Jonathan Khamdee, apakah warganet suporter Indonesia mau bertanggung jawab?
Andai ada wasit yang menguntungkan Timnas Indonesia dan dirundung suporter lawan, apakah ada warganet suporter Indonesia yang mau melindungi?