Maklum, Timnas Malaysia berpeluang menjadi juara grup B, karena berhasil mengalahkan Thailand di laga awal. Jika semuanya lancar, mereka bisa menjadi juara grup, dan otomatis akan menjadi lawan Tim Garuda di babak semifinal.
Pertemuan dua tim serumpun ini tentu saja menarik. Selain karena sejarah panjang rivalitas kedua tim, ada duel dua pelatih asal Korea Selatan, yakni Kim Pan Gon dan Shin Tae-yong.
Ditambah lagi, dengan bertemu Malaysia, Timnas Indonesia bisa menghindari bentrok dengan Thailand yang biasa jadi lawan sulit, sekaligus menjaga peluang lolos ke final, untuk mewujudkan skenario "rematch" melawan Vietnam, yang selama ini banyak digembar-gemborkan.
Tapi, skenario tinggal skenario. Di partai terakhir fase grup, Malaysia justru ditahan imbang 2-2 oleh Kamboja, selagi Thailand mampu mengalahkan Laos 1-0.
Alhasil, Thailand keluar sebagai juara grup, dan akan bertemu Indonesia, dan Malaysia bertemu tuan rumah Vietnam di babak semifinal. Satu-satunya kemungkinan Derby Melayu hadir tinggal di babak final, tapi Vietnam dan Thailand jelas bukan lawan enteng.
Mau tak mau, Witan Sulaeman dkk harus bersiap menghadapi ujian berat. Maklum, tim yang kali ini dihadapi adalah lawan sulit, yang memang menjadi satu kekuatan tradisional sepak bola Asia Tenggara.
Indonesia belakangan sulit menang atas Thailand, bahkan beberapa kali kalah karena kesulitan mengimbangi permainan dominan mereka. Memang, di SEA Games 2019, Thailand mampu dikalahkan 2-0, tapi itu bukan satu parameter ideal, karena materi pemain kedua tim saat ini sudah banyak berubah.
Tanpa bermaksud meragukan kemampuan Garuda Muda, sebaiknya media dan publik sepak bola nasional perlu mulai belajar realistis. Begitu juga dalam memberikan prediksi.
Bukan karena pesimis, tapi karena Tim Gajah Perang adalah lawan yang perlu dihadapi tanpa beban dan sorotan berlebih. Jadi, ada ruang lebih untuk Timnas Indonesia bisa tampil lepas, dan pelatih Shin Tae-yong bisa leluasa menampilkan lagi taktik kejutan.
Dari pengalaman yang sudah-sudah, seharusnya media dan publik sepak bola nasional bisa paham betul, apa yang perlu dilakukan. Dengan catatan, tidak ada yang terlena dengan kebangkitan Tim Garuda di fase grup, setelah sempat digulung Vietnam dengan skor 3-0 di partai pembuka.
Maklum, selain karena lawannya adalah Thailand, partai yang akan dihelat pada Kamis (19/5) ini adalah partai hidup-mati. Tekanannya jelas berbeda dengan fase grup, karena pilihannya cuma menang atau tersingkir.
Jangan lupa, tim ini masih ditangani oleh Alexandre Polking (Brasil), pelatih yang di final Piala AFF lalu membawa Changsuek mengalahkan Timnas Indonesia dengan agregat 6-2.
Karenanya, penting untuk membiarkan tim ini bermain lepas, dan memastikan publik sepak bola nasional siap menerima apapun hasilnya. Menang tak sampai jumawa, kalah tak terlalu kecewa.
Di sini, mengurangi takaran ekspektasi perlu dilakukan, karena ini bisa "memaksa" PSSI untuk tidak lagi hanya membonceng harapan besar publik.
Ada banyak hal yang perlu mereka lakukan, karena sepak bola nasional masih punya kekurangan di sana-sini. Jika para pengurus PSSI mau menyadari, maka sudah seharusnya mereka mulai berpikir jauh ke depan.
Di level Asia Tenggara saja, negara sekelas Kamboja belakangan mulai berkembang, karena mulai menekuni proses yang mereka bangun, dengan menggandeng JFA (PSSI-nya Jepang) dalam beberapa tahun terakhir.
Hasil imbang 2-2 melawan Malaysia di SEA Games kali ini menjadi satu hasil kemajuan itu, padahal The Angkor Warrior biasanya kerap jadi bulan-bulanan lawan.
Jadi, kita tak perlu terlalu asyik membahas progres Thailand dan Vietnam, yang memang sudah mengembangkan sepak bola mereka sejak 10-15 tahun terakhir. Sudah ada Kamboja, yang jadi contoh lain.
Jika dibiarkan saja, level mereka akan melampaui Timnas Indonesia dalam beberapa tahun lagi. Selama PSSI masih berkutat dalam pola pikir ala mie instan, selama itu juga sepak bola nasional akan jalan di tempat, bahkan semakin tertinggal.
Jadi, mari kita nikmati aksi Timnas Indonesia di semifinal nanti, tanpa ada embel-embel ekspektasi apapun.
Biarkan tim yang masih muda ini bisa konsisten berkembang dan matang, tanpa harus berganti sistem, karena pergantian pelatih dalam waktu singkat hanya akan merusak perkembangan yang sejauh ini sudah ada. Kecuali, jika kualitas sistemnya memang sudah kelas dunia, seperti di Brasil, Jerman atau Prancis.
Bisa?