Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe Pilihan

Setelah Deddy Corbuzier Disemprit Warganet

11 Mei 2022   06:35 Diperbarui: 11 Mei 2022   06:50 337 5
Seiring viralnya tayangan podcast Deddy Corbuzier yang menampilkan pasangan gay baru-baru ini, kegaduhan muncul di dunia maya. Saking gaduhnya, sang kreator konten sampai harus sibuk mengklarifikasi.

Untuk mencegah masalah lebih lanjut, tayangan ini akhirnya sampai harus dihapus dari platform YouTube, meski sudah tayang jutaan kali.

Memang, ada sedikit tujuan positif, yang seharusnya bisa ditangkap dari tayangan ini, khususnya dalam hal membangun kesadaran bahwa mereka "ada" dan bisa dikenali.

Dalam posisi YouTube sebagai platform global, sebetulnya topik ini tidak jadi masalah, karena YouTube sendiri memang ikut mengkampanyekan gerakan anti-diskriminasi pada kaum "terpinggirkan", termasuk LGBT, dalam perspektif budaya liberal.

Kalau podcast ini tayang dan menyasar audiens Thailand atau Jerman misalnya, mungkin tak akan gaduh apalagi sampai dihapus, karena negara itu memang melegalkan.

Masalahnya, ketika tayangan jenis ini menyasar target audiens khusus, dalam hal ini warganet Indonesia, gesekan jelas tak terhindarkan. Maklum, dalam perspektif budaya Indonesia, LGBT termasuk hal tabu, tak boleh diutak-atik.

Status "tak boleh diutak-atik" ini semakin paten, karena ajaran lintas agama juga melarang. Selain karena berkaitan dengan perspektif moral dan sosial, ini juga berkaitan dengan kesehatan, khususnya kesehatan fisik dan mental.

Ditambah lagi, Indonesia termasuk negara yang mengharamkan hubungan apalagi pernikahan sejenis. Jadi, wajar jika banyak pro-kontra muncul, segera setelah tayangan ini viral. Apalagi, pasangan gay yang dihadirkan Deddy Corbuzier statusnya sudah "menikah" di luar negeri, dalam hal ini negara yang memang melegalkan pernikahan sejenis.

Sebenarnya, kanal podcast ini memang biasa menampilkan narasumber dengan topik dan perspektif tak biasa. Tapi, kali ini mereka membuat blunder fatal, karena membahas satu perilaku "menyimpang" secara psikologis dan orientasi seksual, dengan menghadirkan "pelaku", bukan ahli di bidangnya.

Jadi, wajar kalau sebagian masyarakat memandang, tayangan ini terkesan seperti mengkampanyekan LGBT, meski sebenarnya tidak bermaksud seperti itu.

Dalam beberapa kasus, perspektif dari pelaku atau "praktisi" memang bisa membantu. Tapi, tidak untuk topik sensitif seperti ini. Apalagi, kalau masyarakatnya sudah memegang teguh ajaran agama. Pada umumnya, masyarakat akan kompak berkata "tidak" untuk hal yang dilarang agama.

Karena LGBT pada dasarnya adalah satu perilaku seksual menyimpang, dan bersifat psikis, seharusnya Deddy Corbuzier mendatangkan seksolog seperti Dr. Boyke yang sudah dikenal luas, atau psikolog seperti Inez Kristanti yang punya banyak follower di media sosial.

Jadi, meskipun topiknya sensitif, masyarakat masih bisa menerima, karena yang memaparkan adalah tenaga ahli, bukan "pelaku". Ada ilmu pengetahuan yang bisa diterima tanpa menghasilkan pro-kontra, dan kesadaran bahwa mereka "ada" di Indonesia, walaupun tidak terlihat secara terang-terangan.

Lebih jauh, edukasi dari tenaga ahli juga bisa mencegah diskriminasi, minimal dalam hal stereotip, khususnya pada penderita kelainan hormonal. Seperti yang beberapa waktu lalu dialami Aprilia Manganang, mantan atlet voli putri Indonesia, yang kini telah menjadi anggota TNI, dengan nama Aprilio Perkasa Manganang (setelah bertransisi menjadi pria).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun