Meski awalnya batal ikut Piala AFF U-22 karena imbas varian omicron, masih ada SEA Games dan Asian Games yang menjadi gelanggang berikut. Daftar ini hampir dipastikan bertambah, karena tim Garuda Muda masih akan ikut Turnamen Toulon di Prancis.
Dari segi kuantitas dan kualitas, turnamen, tentu ketiganya akan jadi sajian menarik, khususnya buat publik sepak bola nasional. Tingkatnya pun lengkap, dari regional, kontinental, sampai interkontinental.
Jika melihat kebiasaan PSSI dan sebagian publik sepak bola nasional, tentu ada ekspektasi cukup tinggi yang datang, dan terbalut dalam serangkaian prediksi.
Masalahnya, jika konteksnya adalah turnamen usia muda, rasanya membebani para pemain Timnas Indonesia dengan target tinggi adalah satu hal yang kurang pas. Tekanan semacam ini adalah porsi untuk Timnas senior, bukan junior.
Mengapa?
Karena, para pemain muda ini (seharusnya) dipersiapkan untuk bisa memperkuat Timnas senior di masa depan, sebagai pemain "jadi". Ibarat pedang, mereka adalah pedang tajam yang sudah ditempa dengan benar.
Di sini, turnamen usia muda seperti Turnamen Toulon, Asian Games dan SEA Games menjadi tempat para pemain mengasah kemampuan, lewat pengalaman bertanding di turnamen antarnegara.
Otomatis, prestasi bukan target teratas. Andai dapat trofi juara, itu bonus. Pengalaman bertanding-lah yang utama. Semakin banyak, semakin baik, karena inilah yang paling dibutuhkan pemain dan tim pelatih, untuk bisa memantau perkembangan tim secara keseluruhan.
Ini sejalan dengan pembinaan pemain muda, yang (seharusnya) punya wadah kompetisi berjenjang, sesuai kelompok umur, sebagai sarana belajar, khususnya bagi para pemain.
Sayangnya, PSSI selaku federasi justru tak benar-benar serius dalam menangani masalah ini. Kompetisi usia muda masih alakadarnya, dan para pemain Timnas usia muda Indonesia justru langsung dihadapkan pada ekspektasi tinggi publik.
Jadi, wajar jika belakangan kita sering melihat, Timnas usia muda, entah itu U-16, U-19 atau U-23, sudah ditarget juara. Padahal, di saat bersamaan, tim-tim lain terlihat lebih santai, bahkan ada yang hanya menganggap turnamen itu sebagai kesempatan eksperimen taktik.
Apakah ini berarti Garuda Muda tak boleh juara?
Boleh saja. Tapi, bukan berarti bisa sembarangan membebankan ekspektasi tinggi itu, setiap kali Timnas bertanding.
Karena mereka masih bisa berkembang lebih jauh, kita tidak boleh membiarkan para pemain terjebak dalam rasa puas diri. Terlalu cepat puas bisa membuat seorang pemain cepat layu sebelum berkembang.
Contoh paling umum dari kasus ini adalah saat Timnas U-19 angkatan Evan Dimas dan Timnas U-22 angkatan Marinus Wanewar juara Piala AFF. Mereka dibebani harapan juara, dan setelah juara dibuat mabuk kepayang oleh euforia publik sepak bola nasional.
Akibatnya, saat menapaki level turnamen lebih tinggi (tingkat Asia), kedua tim juara Asia Tenggara ini sama-sama nyungsep. Di level senior, hanya tersisa sedikit pemain, dari generasi yang dulu sempat dipuja-puja.
Maka, agak mengherankan jika setelahnya muncul narasi "pemain timnas muda Indonesia bagus dan kuat, tapi loyo di level senior". Disebut demikian, karena situasi ini sebenarnya datang dari ekspektasi tinggi publik dan PSSI, yang jika terwujud, biasanya membuahkan rasa puas diri.
Dengan demikian, seharusnya PSSI tidak boleh lagi seenaknya mematok target juara di setiap turnamen usia muda, khususnya di tingkat Asia Tenggara.
Dalam tugas mereka sebagai induk sepak bola nasional, sikap ini justru menunjukkan ketidakmampuan mereka, untuk membangun tim nasional senior yang solid. Maklum, belum apa-apa, para pemain Timnas usia muda Indonesia sudah dibebani target, yang seharusnya menjadi urusan tim senior.
Padahal, hasil akhir dari sistem pembinaan pemain muda adalah tim nasional senior. Pembinaan usia muda sendiri baru bisa membuahkan hasil baik, jika kompetisi dan sistem yang ada bisa berjalan dengan rapi.
Selama sistem yang ada masih berjalan asal-asalan, selama itu juga publik tidak boleh mengikuti cara berpikir PSSI: membebani para pemain muda Indonesia dengan target tinggi.
Berharap terlalu besar di awal, biasanya akan mendatangkan kecewa sangat pahit. Kalau sudah begini, mau pelatihnya sekelas Carlo Ancelotti sekalipun, hasilnya akan sama saja.
Karena, PSSI masih tidak tahu apa yang sebenarnya sedang mereka lakukan. Kecuali, jika mereka cepat sadar..